Follow Aras Atas on Facebook Contact Us Open!
Join our telegram Contact Us Join Now!
Filsafat Pemuda
Filsafat Pemuda

Filsafat Pemuda

MUQADDIMAH

Urat Nadi Generasi Pemenang 

Aras Atas - Urat nadi sejarah umat manusia adalah kaum mudanya, denyut nandi pemuda merupakan tanda keberlanjutan sejarah dan peradaban satu bangsa. Jika terjadi “Aritmia” dapat terdiaksona pada denyut nadinya, jika denyutan nadi dibawah 60 kali atau diatas 100 kali per satu menit, alamat terjadi gangguan pada fungsi jantungnya. Jantung yang merupakan organ vital bagi manusia, jika kaum muda diibaratkan bagai urat nadi, kira-kira bisakah pembaca berimajinasi bahwa jantung diibaratkan apa dalam panggung sejarah dan perabadan suatu bangsa?

Baca Juga :Undangan Menulis
Juga dengan ruang waktu hidup manusia (sejarah), jika kaum mudanya terhenti dalam proses kedinamikaannya maka suplai ke inti persoalan umat akan juga terganggu, tidak ada lagi standar idealisme menjadi ukurannya karena para pemegang kekuasaan tak punya "lawan" lagi dalam artian pengontrol dinamika kebijakan mereka.
Proses sebagai pemuda terlalu dini jika berbicara hasil, tetapi proses itu harus dipandang dan dipahami sebagai bentuk "Pemenangan Usia Muda". Proses itu sejatinya bentuk rasa syukur bagi kaum muda telah masuk pada fase-fase penting ini, karena akan mendulang proses yang menentukan masa-masa berikutnya. Hasil tidak akan mengkhianati prosesnya, atau proses menentukan hasil, atau juga jika proses kepemudaannya baik maka hasilnya juga akan baik. Orang bijak berkata, jika melihat kegagalan atau keberhasilan orang tau, maka lihatlah bagaimana masa mudanya.
Apa yang diyakini oleh Soe Hok Gie lewat puisinya telah gagal, bahwa mati muda adalah bentuk kebahagiaan bagi pemuda. Namun bagi saya itu adalah kegagalan prosesnya sebagai pemuda, dia telah putus asa atas segala cita-cita dan idealisme mudanya, yang rapuh, (mungkin) wajar karena rezim yang menaungi generasinya tidak memiliki kata ampun bagi pemuda yang lemah dan rapuh spertinya, namun pada faktanya banyak segenerasinya telah tumbuh menjadi besar atas daya tahannya pada kediktatoran rezim Orde Baru (Orba). Tetapi sebagian pemuda kita terlanjur terpikat padanya, banyak yang telah mengutip ungkapanya sebagai bentuk perwakilan rasa. Harusnya Gie menyadari untuk tidak menebar psimisme masa mudanya itu.
    
Tan Malaka telah menjelaskan lebih awal bahwa “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh kaum muda”, dan dalam kitab MADILOG-nya ia menjabarkan persoalan yang syarat makna bahwa "Resam Air ke Ari, Resam Minyak ke Minyak". Meski minyak dan air disatukan dalam bejana, air tetap menyatu bersama sekawanan airnya, minyak akan menyatu dengan sekawanan minyaknya. Ini terjadi secara alamiah (kehendak alamiah), dimana jiwa pemuda yang telah dihantui keputusasaan akan mencari sandaran pembenarannya yang bersesuaian dengan penjiwaannya itu. Namun, jika jiwa muda sudah tak kenal gentar, maka sandaran dan panutannya bertumpu pada panutan-panutan yang sejiwanya. Rapuh akan bertemu rapuh, kuat akan bertemu kuat, begitu alam ini menyeleksi isinya.
      
Ada yang menarik dari penjelasan Haidar Bagir, bahwa masalah besar kemanusiaan muncul dari kegagalan melihat (dan menerima) kenyataan serta kompleksnya masalah-masalah itu. Lebih lanjutnya ini didasari oleh kelemahan intelegen dan hilangnya kesabaran atas proses yang sedang dilewati (apalagi baru sebatas memulai), hingga sejarah (sebagai garis lintas kemanuisaan) menjadi semacam gergasi, timbul kemudian kembingungan-kebingungan, keputusasaan. Akhirnya, kelompok-kelompok dan atau individu (pemuda) yang tak cukup staminanya kencederungan akan lari atau malah masuk dan terjebak pada dinamika yang semakin membuat dia kebingungan.
      
Sebagai bangsa, tentu kita tidak ingin miliki generasi muda yang rapuh, bingung, mudah putus asa diparuh usianya yang sedang dalam tahap proses. Kegagalan atas pemahaman tujuan hidup sebagai pemuda, dangkalnya daya nalar atas proses hidup dan tahapan-tahapannya membuat kita berkesimpulan salah. Hidup sebagai pemuda adalah proses yang berkonsekuensi, dan proses ini bisa cepat bisa lambat menghantarkan kita pada paham tujuan hidup yang sejati. Ini senafas yang bisa kita petik dalam pusi "Aku" Chairil Anwar, bahwa kerasnya hidup yang ia jalani sebagai manusia jalanan tak menghadang dia berlari maju (sampai tiba waktunya), untuk diakui sekumpulannya, bahkan ia mengancam "diri"nya jangan menghadang keinginnya yang sudah bulat karena peluru pun ia terjang meradang, luka dan perihpun akan dibawa lari bersama tekdanya.
         
Yang kita inginkan pemuda tangguh bukan? hebat, kuat, kuat dan kuat karena dari pemuda seperti ini lah dimulainya bangsa ini berdiri menjadi sebuah negara kesatuan. Tidak ada dalam kamus pejuang-pejuang muda bangsa ini larut dalam keputusasaan, layu karena putus cinta lantas menghentikan perjuangan. Para pejuang muda terdahulu yang mati lebih dulu dimedan pertempuran melawan penjajah telah menuntaskan kesimpulan hidup, bahwa kematian mereka tidaklah sia-sia, melainkan menjadi nutrisi yang sehat bagi negerasi pelanjut, kabar kematian dan perjuangannya akan jadi semangat untuk generasi muda lainnya, maka teriakan mereka adalah optimisme.
       
Inilah mental pemenang, dirinya kalah dalam pertempuran bukan berarti sebuah kekalahan bagi keseluruh perjuang, karena kemenangan yang diperjuangkan bukan kemenangan dirinya seorang diri, melainkan kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Jiwa pemenang itu sudah akan sadar peperangan melawan penjajah itu bukan persoalan mampu atau tidak mampu membunuh lawan saat itu juga, akan tetapi soal perlawanan mencapai kemenangan yang hendak dicapai adalah kemerdekaan Republik Indonesia. Dan itulah kenyataannya, bahwa Belanda dan Jepang tidak pernah mampu pejuang-pejuang kita perangi total (membunuh), karena bukan perang dan membunuh tujuan dari pejuangan kemerdekaan kita, jika bisa memilih para pejuang kita akan menempuh jalur damai (diplomasi politik) seperti yang pernah dicontohkan HOS. Tjokroaminoto.

Generasi Pemenang itu ialah generasi muda yang mampu menginterpretasikan proses pada kiblat pemenangan (dalam paradigma dan dinamika kepemudaan). Dengan berani saya katakan, sebagian besar pemuda kita telah salah menginterpretasikan kemenangan yang hendak dicapainya, tidak cukup sabar menikmati prosesnya sebagai pemuda (Baca kembali catatan kaki [1]). Orientasi kemenangan pada ruang dinamikanya terpaku pada posisi yang hendak diraih, maka selepas dari kegagalan meraih posisi tertinggi pada ruang dinamika tempat ia berproses, nalar kemenangannya terhenti seketika. Cita-cita pemenangan itu haruslah tersandar pada yang benar dan posisi yang tepat.
               
Saya berikan contoh, si fulan bermental pemenang sedang mengikuti kontestasi politik dalam organisasi tempat ia berproses, posisi jabatan tertinggi sedang diperebutkan oleh seisi anggota organisasinya. Seleksi demi seleksi pun terjadi untuk menjaring siap yang terbaik diantara semua kandidat ketua. Alamat, sungguh garis proses berbicara lain, si fulan tidak terpilih jadi puncuk pimpinan organisasinya padahal segenap visi dan misi telah rapih dibuat untuk kemajuan organisasi yang ia cintai, rancangan gerakannya termaktub semua kedalam visi-misi itu. Seberang dari kekalahan itu si fulan tetap mendulang kemenanganya. Bagaimanakah ceritanya fulan bisa mendulang kemenangan? Jelas dia tidak terpilih! Dapatkah pembaca menebak apa gerangan yang terjadi pada fulan? Sebelum pembaca melanjutkan bacaan ada baiknya direnungi.....
                  
Cerita sifulan di atas menggambarkan visi dan misinya untuk kemajuan organisasi yang ia cintai, maka salah satu jalan dan kesempatan merealisasikan itu lewat pencalonannya merebut pucuk pimpinan organisasi, tapi nasib berkata lain, fulan tidak terpilih namun visi dan misi yang ia rancang adalah sesuatu yang hidup tidak mati hanya karena batal jadi ketua. Karena tujuannya adalah kebaikan organisasi yang ia cintai, pasca pemilihan ketua tersebut terjadi penyegaran organisasi karena sistem yang berlaku, maka lewat orang-orang yang ia percayai dipasangnya menjadi pengurus baru agar cita-cita perjuangan dilanjutkan. Bersabung......

Rate This Article

Post a Comment

Thanks for reading: Filsafat Pemuda, Sorry, my English is bad:)

About the Author

Aras Atas
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.
// //