Aras Atas - Upaya-upaya memperbaiki tidak bisa kita pungkiri telah tumbuh sejak lama.
Masuknya sekelompok pembaharu di awal-awal masehi (penyebar islam awal) dan di
pertengahan masehi (Wali Songo) secara massif di pertengahan zaman sempat
membawa bangsa Indonesia pada jalan yang penuh dengan harapan maju, penuh
dengan perkembangan, baik sosialnya, ekonomi, politik, dan berbudaya yang lebih
manusiawi tanpa membuang budaya yang lebih dulu ada.[1] Kebesaran
para pembaharu ini dalam menyebarkan syiar Islam di tanah Jawa memberikan kesan
tersendiri bahwa Nusantara saat itu punya harapan baru dengan sistem yang
dipercayai, setidaknya hal-hal yang tidak beradab sebagai bangsa dalam buku
Jawa Tempo Doeloe, seperti dekil, suka makan serangga, kebiasaan membunuh tanpa
alasan jelas, percaya takhayul, kemudia diatur dan tata kembali dengan sistem
baru (baca juga sistem islam) lewat kebijaksanaan para Wali.
Kebijaksanaan wali songo memberi cara pandang hidup baru ditengan kehidupan
orang-orang jawa kuno dengan kepercayaan mereka yang awal. Kebiasaan
orang-orang jawa sangat keluar dari konteks kemanusiaan, tingginya kepercayaan
mereka pada hal yang gaib, takhayul membentuk sikap mereka menjadi sesembahan.
Tak kurang-kurang manusia pun dijadikan sesembahannya (tumbal) ketika satu
pencapai dalam keyakinan mereka ingin menguasi drajat keilmuan yang tinggi.
Merogo Sukma adalah drajat keilmuan yang cukup pamor dikalangan masyarakat jawa
kuno, ilmu melalui proses ritual yang sedikit dipandang tidak “etis” oleh para
pembaharu (wali songo), dimana manusia ditumbalkan, perempuan dan laki-laki
duduk melingkar telanjang, ditengahnya ada arak, tumpeng dan ingkung[2]
dari daging manusia.
Dari kebiasaan meraga sukma ini muncul kebiasaan baru seperti santet,
pellet dan ngepet dari orang-orang yang tidak mampu mengendalikan hawa
nafsunya. Dengan masuknya para pembaharu peradaban mengubah kebiasaan jelek ini
menjadi lebih beradab tapi tidak menghapus kegemaran orang-orang dari meraga
sukma. Digantikannya arak dengan air biasa, ingkung daging manusia menjadi
ayam, kebiasaan telanjang ditiadakan, diselipkan pujian-pujina yang islami.
Dengan cara ini wali songo mampu merubah kebiasan buruk masyarakat yang sulit
meninggalkan tradisi lama mereka, mantra-mantra dirubah menjadi kalimat tauhid
seperti Laa ilaaha illallaah. Kemudian oleh Sunan Kali Jaga kalimat ini
dijadikan peminatan bagi orang-orang jawa yang gila akan kesaktian, dengan
menyebut ilmu “kalimosodo” (maksudnya kalimat syahadat). Dengan ini masyarakat
tertarik mepelajarinya, jadilah penyebaran ajaran ini terhindar dari
peperangan, perlahan tapi pasti segenap ajaran Islam menjadi sistem hidup
masyarakat nusantara hingga sekarang.
Jauh sebelum para pembaharu ini datang pada abad ke 14 silam, nusantara
yang kita kenal telah berperadaban maju. Melahirkan rumusan-rumusan kehidupan
yang maju, seperti sistem agrarian pertanian, sistem pelayaran, sistem tata
negara yang merujuk pada kitab Nagarakartagama tulisan Empu Prapanca.
Buda-Hindu menjadi sandaran spiritual masyarakat nusantara sebelum akhirnya
habis dengan sendirinya seiring datangnya para pembaharu.
Nurcholish Madjid (Cak Nur) juga mengulas tentang Nusantara dalam bukunya
Islam, Doktrin dan Peradaban, Ia menjelaskan bahwa kemajuan dan kebesaran
Nusantara sebagai bangsa sudah dicapai sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit, ini
dibuktikan dengan fosil-fosil dan bangunan yang menandakan canggihnya
masyarakat saat itu.[3]
Tidak sebatas kontruksi bangunan yang diciptakan oleh para leluhur kita, jejak
ilmu pengetahuan juga sempat menjadi sorotan dunia internasional, saat itu.
Terbukti adanya sekolah tinggi (semacam Universitas) di zaman Sriwijaya, karya
tulis seperti tulisan Raja Jayabaya, Negara Kartagama, manuskrip-manuskrip dari
daun lontar, kitab suta soma dll. Ini semua kita miliki jauh sebelum
bangsa-bangsa barat mengeskploitasi semua keadaan hingga tanpa tersisa lagi.
Hingga sekarang bangsa ini menjadi bangsa yang serba salah dari semua sisi.
Bukti-bukti kebesaran bangsa zaman itu hilang dan sulit membuktikan lagi
sebagai suatu kebenaran menurut ilmiah modern. Efek dari penjajahan oleh bangsa
luar sangat berdampak, sampai saat ini bentuk-bentuk penjajahan itu masih
sangat terasa.
Situasional
Negara-Bangsa
Di bawah ini saya coba memaparkan terlebih dahulu seperti apa gambaran
bangsa kita saat ini, agar bisa menentukan sikap dan menyimpulkan bahwa kita
sebenarnya sedang dalam situasi “Terjajah”.
Kalimat yang menarik untuk menjelaskan keadaan Indonesia saat ini adalah “Indonesia
di Tengah Kepungan Global”, coba perhatikan kalimat tersebut, Indonesia
di Tengah Kepungan Global. Kata Indonesia dalam kalimat ini adalah objek
tunggal yang di sasar oleh banyak hal, seperti sebuah ‘kue bolu’ yang selalu
dilirik oleh banyak mata. Kemudian kata di tengah menandakan
Indonesia (sebagai objek tunggal) tidak bisa ke mana-mana lagi alias terdesak
di tempat dengan ruang gerak yang sanagt sempit, apa penyebabnya? Perhatikan
lagi kalimat setelah kata di tengah, ada kata kepungan[4]
bila diterjemahkan secara sederhana menjadi serangan segala arah, bila kita
jernihkan lagi masalahnya, kata serangan adalah bersifat merusak, merebut,
mendikte, mengendalikan, menguasai, dan tanpa kebebasan dari pihak yang
diserang. Jadi konotasi dari kata kepungan bermuatan “negatif”. Oleh siapa?
Kalimat setelah kata kepungan yakni Global, kita bisa artikan
kata global dengan sesuatu yang besar, luas dan kuat, hampir dipastikan akan
menang atau tidak bisa dikendalikan oleh yang kecil. Efeknya adalah terjadi
keterbatasan atau sempitnya ruang kebebasan dari mulai pola pikiran, pola sikap
dan pola laku pada Negara-negara kecil dan berkembang dihadapan wacana
globalisai ini. Akhirnya kesan yang tersampaikan dalam situasi ini terhadap
Negara dan bangsa Indonesia jadi begini “hey Indonesia kamu mau kemana lagi
kalau kenyataannya sudah dikepung, kamu nggak bisa ke mana-mana lagi”. Dari
kutipan ini penulis ingin menyodorkan pertanyaan. Apakah pemerintah Indonesia
bisa terbebas dari kebijakan politik Internasional? Kenapa Rupiah melemah di
hadapan mata uang Dolar? Bisakah Indonesia terbebas dari hutang luar negeri? Kenapa
haru hutang sementara depan mata kita melihat kekayaan alam di bawah perut bumi
Indonesia? Siapa yang menjadikan Indonesia tidak berkutik seperti ini? Dari
dalam atau pihak luarkah? Nanti kita akan urai lebih lanjut.
Kira-kira para pembaca terima jika kata kepungan itu sama dengan kata
“PENJAJAHAN” jadi kalimat yang sesu-ngguhnya dan kenyataan sebenarnya adalah
“Indonesia di tengah penjajahan Global”. Masa iya Indonesia masih terjajah?
Mari kita telusuri biar tidak menjadi fitnah sejarah dan masa depan. Kita
kembalikan cerita ke zaman Penjajahan VOC (Belanda untuk Inggris). Gosipnya
Indonesia dijajah 350 tahun oleh VOC, dan sayangnya gosip ini sudah tercatat
dalam buku-buku mata pelajaran sejarah di negeri ini, dalam artian khusus
Indonesia mengakui gosip itu menjadi kebenaran umum. Parahnya lagi diajarkan
dari generasi ke generasi lewat kurikulum pendidikan nasional.
Kata penjajahan sangat bernilai negatif, bukan tanpa alasan dan sebab,
penjajahan bertujuan menguasai secara penuh, betapa Indonesia pada zaman VOC
berkuasa terkungkung tak berdaya. Banyak korban berjatuhan, gugur akibat
pertempuran lantaran tidak rela untuk dikuasai hak-haknya, banyak meninggal
akibat kelaparan dan kelelahan karena menjadi pekerja paksa (Kerja Rodi). Pada
masa itu rakyat Indonesia diperintahkan untuk menanam rempah-rempah secara
paksa dan tanpa imbalan, hingga disebut sistem tanam paksa oleh pemerintah VOC.
Kemudiann pada zaman penjajahan Jepang ada istilah ROMUSHA yang lebih kejam
dari RODI namun intinya sama, yakni kerja mati-matian untuk keuntungan pihak
penjajah.
Ulasan singkat seperti apa itu penjajahan, sesungguhnya sangat tidak
mengenakan dan menyiksa lahir dan batin bagi yang terjajah. Tapi sejarah
bukanlah hal yang tidak ada manfaatnya, dalam kitab sucipun diajarkan untuk
mengambil pelajaran dari masa lalu untuk mengubah masa depan dan kejadian
dimasa lalu yang amat menyakitkan itu tidak lagi terulang. Mari kita bandingkan
antara penjajahan globalisai (menjajah model sekarang) dengan penjajahan VOC
dan Jepang, apakah sama? Secara etimologi sangat berbeda, tapi ingat penjajahan
itu memiliki tujuan, apapun cara untuk menjajah tujuannya adalah “MENGUASAI”.
Situasi penjajahan lama, memang benar telah banyak perlawanan dari
pelosok-pelosok Nusantara oleh pejuang-pejuang kala itu, hingga muncul
pahlawan-pahlawan besar yang terus kita junjung seperti, Pangeran Diponegoro,
Pangeran Hasanuddin, Tengku Umar, Cut Nyak Dien Kapiten Patimura dll. Masih
banyak nama-nama besar lainya, namun perjuangan mereka bersifat kedaerahan, hingga
tidak memberi banyak perubahan kepada bangsa secara keseluruhan.[5]
Setelah sekian lama tersiksa bangsa ini melahirkan pejuang-pejuang sejati
yang lebih menempuh jalur diplomasi politik, nama besar yang mewakili
perjuangan ini adalah Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Kedua nama besar ini
menempuh jalur yang tidak menimbulkan banyak kerusakan fisik pada Negara dan
Bangsa. Bung Karno dan Bung Hatta menasionalkan perjuangan mereka, mengatas
namakan seluruh rakyat Indonesia hingga membuahkan hasil yang sangat manis,
yakni Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Semangat
perjuangan yang dihasilkan oleh pejuang-pejuang di atas harus terus ditanamkan
dalam sanubari anak bangsa, semangat pantang menyerah dari mereka benar-benar
pantas untuk ditiru. Jalur yang menjanjikan untuk menularkan semangat itu
adalah Pendidikan Nasional yang dimulai oleh pemerintah itu sendiri sebagai
satu sistem yang bertanggung jawab untuk mengatur arah perkembangan negara.
Kembali pada masalah kurikulum yang sempat disinggung diawal, harusnya
kehadiran kurikulum pendidikan nasioal adalah sebagai penjernih pemahaman
kolektif seluruh bangsa disetiap generasinya. Kurikulum pendidikan juga perlu
menjiwai penggalan syair lagu Indonesia Raya yang berbunyi “Bangunlah Jiwanya”.
Bahwa kehadiran kurikulum tidak mengkerdilkan mental penghuni Negara ini,
hingga tertanam dari generasi ke generasi pada benak mereka bahwa bangsa ini
pernah menjadi bangsa yang dimarjinalkan sangat lama dan itu sangat pahit.
Keterangan yang sudah ada bahwa Belanda pertama kali datang ke Nusantara
(nama sebelum Indonesia) di Banten yang saat itu menjadi pusat pemerintahan
dengan tujuan berdagang dan membeli rempah-rempah untuk dibawa ke eropa. Jika
kenyataan Belanda datang pertama kali dengan tujuan berdagang, tidak adil
rasanya bila itu dianggap sebuah penjajahan mutlak. Sebab dikatakan menjajah
itu adalah penguasaan atas satu wilayah dari mulai sistem dan wilayahnya. Bila
memang Belanda berniat menjajah Nunsantara saat itu dengan alasan masuknya adalah
berdagang, tidak bisa juga menjadi kenyataan bahwa Belanda telah menjajah
Nusantara semenjak 1652 M sampai 1942 M. Seharusnya pernyataannya adalah Belanda
membutuhkan 300 tahun untuk menjajah Nusantara secara penuh yang akhirnya
dikalahkan oleh pasukan Jepang yang datang sebagai “Saudara Tua”. Jadi
orang akan berpikir sebegitu hebatnya bangsa ini sampai-sampai belanda
membutuhkan ratusan tahun untuk menjajahnya, yang pada akhirnya belanda hanya
mampu menjajah Nusantara selama 50 tahun saja bukan?.
Nampaknya kalimat yang saya tawarkan lebih enak dibaca dan didengar. Bila
dibandingkan pernyataan Indonesia pernah dijajah oleh Balanda selama 350 tahu,
selain mengandung kebohongan dan sangat mengkerdilkan mental. Tidak sesuai
dengan fakta bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar yang pernah menaklukkan
Asia tenggara dengan kejayaan Siriwijada dan Majapahit. Jiwa yang hendak
dibangun lewat syair lagi Indonesia raya tidak tercapai karena generasi telah
tertipu oleh kebohongan yang cukup lama, lalu akibatnya terhambat juga
pembangunan di Negara ini.”
Bisa jadi orang-orang akan beranggapan, apa yang saya kemukakan di atas,
sepertinya berlebihan dan kelebihan gawat. Penulis serahkan kembali pada
pembaca bagaimana kiranya, baiknya menghayati masalah tersebut. Penulis coba
menegaskan bahwa bangsa Indonesia sebetulnya masih dalam banyang-banyang
penjajahan namun dengan bentuk dan cara yang berbeda. Penjajahan gaya lama
sudah tidak efektif lagi, selain nampaknya merugikan kedua belah pihak juga
menguras banyak energi. Maka penjajahan gaya baru mulai digencarkan melalui
sistem dan cara yang tidak mudah ditebak siapa lawan dan siapa kawan. Namun
situasi penjajahan gaya baru ini menimbulkan efek yang sangat luar biasa bagi
sasaran penjajah. Telah saya urai diawal
bagaimana memahami penjajahan era millennia ini, dan akan dibahas lebih lanjut
lagi pada bab-bab berikutnya.[6]
Mengupas masalah ini adalah penting untuk membuka mata semua pihak,
nampaknya kita setuju dengan pendapat Cak Nur bahwa perlu bagi kita untuk terus
membahasa dan meperlebar bahasan mengenai paham kebangsaan, agar tidak lengah
dengan sutuasi kebangsaan yang serba dikendalikan oleh tangan-tangan luar.
Mudahnya kita diadu domba oleh mereka, adalah tanda betapa kita masih
dikendalikan secara halus hanya lewat isu-isu memecah belah umat, lantas mereka
hadir sebagai pahlawan kesiangan, sambil menikmati kemanangannya. Bukan isapan
jempol belaka, bahawa ada sesuatu yang berharga yang kita miliki, yang
diwariskan Tuhan untuk keberlangsungan hindup sebagai bangsa Indonesia, baik
itu material goegrafisnya, atau spiritual kehidupan berbangsa, maupun hubungan
keduanya sebagai ciri khas bangsa Indonesia.
Lantas apakah pihak yang bukan dari bangsa Indonesia berhak mengambilnya?
Penulis tidak mengatakan tidak, namun ini menyangkut anugerah dan amanah
(seperti Rahman dan Rahim dalam pemahaman orang muslim). Ibaratkan pohon mangga
dalam pekarangan rumah, jatuh buahnya tidak jauh dari pagar rumah mudah sekali
orang luar mengambil buah yang jatuh itu. Lantas siapa yang berhak memiliki
buah itu? sudah tentu pemilik si pemilik pekarangannya, namun jika ada orang
luar yang mau mengambil, sudah barang tentu harus seizin pemilik pekarangan.
Kenyataannya, pemilik pekarangan memberikan izin, dengan beberapa perjanjian
diatas kertas, namun apa yang terjadi, buah itu selalu dinikmati oleh orang
luar, untuk kesejahteraan mereka saja, pemilik pekarangan apa daya hanya
menerima dan menunggu kebaikan dari sipeminta izin. Ini bukan lagi “lucu” tapi
kelewatan “baik”, aneh, pemilik malah menunggu kebaikan tamu baru bisa
menikmati manisnya buah mangga itu.
Jelas analogi di atas jauh dari harapan dan cita-cita Pancasila sebagai
pandangan hidup berbangsa dan bernegara kita. Pada sila ke-5 Pancasila,
menegaskan untuk siapa kemaslahatan itu diprioritaskan, “Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jelas disampaikan dalam sila ke-5
adalah segala perjuangan dan hasil perjuangan kemaslahatan itu diperuntukkan
bagi (untuk) kesejahteraan rakyat Indonesia, bukan oleh dan untuk pihak luar
(asing). Kalau pun untuk asing, itu hanya berdasarkan kebaikan hati dari bangsa
Indonesia saja, dengan pertimbangan bangsa sendiri sudah tercukupi.
Tentu, kebijakan yang mengedapankan kepentingan bangsa terlebih dahulu,
haruslah beririsan dengan sistemnya, sebagai daya mendukung. Sebab niat tanpa
diupayakan tidak akan menghasilkan apa-apa, tapi niat dan upaya juga harus
sejalan dengan caranya, jika caranya tidak sejalan dengan apa yang diinginkan
maka kemaksimalan hasilnya tidak utuh, bahkan bisa saja nihil. Contoh, jika kita
memerlukan beras, maka menanam padi adalah caranya, ilmu menanam padi harus
pula dikuasai. Namun jika tidak dinilai ngawur melihat arah pemerintahan
Indonesia sekarang ini nampak sekali apa yang diinginkan tidak sama dengan
upayanya, yang di inginkan dan butuhkan adalah beras tapi yang ditanam adalah
jagung. Hal ini disebabkan banyak hal, tapi hal yang paling besar mempengaruhi
adalah kepentingan asing yang jauh lebih menekan. Sistem yang dialami sekarang ini memungkinkan
juga bagi pihak luar (asing/aseng) untuk ikut campur dalam pengambilan
kebijakan, apakah pertimbangan kemaslahatan bangsa lewat kebijakan bisa
terjamin dengan utuh? Tentu akan terjadi konflik di dalam sistemnya, seperti
yang kita simak dalam pemerintahan kita sekarang ini. Lalu, bagaimana caranya
kita melindungi diri dari campur tangan pihak asing tersebut? Apa dengan sistem
Pancasila bisa menjamin? Atau sistem Demokrasi? Khilafah? Monarki? Oligarki?
Atau ada yang lain-lainnya?
Bagi penulis, kualitas sitem (pemerintahan) itu sangat dipengaruhi oleh
kualitas manusia sebagai penyelenggara, karena manusialah yang menjalankan
semua konsekuensi penyelenggaraan sebuah kenegaraan. Semisal, katakanlah sudah
kita temukan sebuah sistem pemerintah sesuai petunjuk Tuhan, sudah barang tentu
untuk urusan pelaksanaanya adalah urusan manusia, karena manusialah yang
menjalankan semua konsekuensinya sekalipun itu perintah langsung dari Tuhan.
Namun terdapat juga pengecualian oleh Tuhan, bahwa tidak semua manusia mampu
menangkap maksud tuhan dengan tepat, malainkan dikhususkan pada orang-orang
yang tertentu.
Pada urutan pertama secara keyakinan Islam adalah Nabi yang dengan
cemerlang menterjemahkan maksud Tuhan dengan tepat. Urutan berikutnya ialah
orang-orang yang berilmu, filsof dan seterusnya. Tidak semua manusia harus dan
mampu, maka jika semua manusia ikut campur dalam satu masalah, bayangkan saja
seperti apa yang akan terjadi, lamban dalam penyesaiannya, kacau dalam
komunikasinya, banyak energi yang dihabiskan hanya satu urusan. Silahkan
pembaca mencarmati sistem domokrasi yang kita praktikkan di negara ini. Boleh
kita berkesimpulan, secara sistem, demokrasi sangat cepat merambat
kemasyarakat, tapi apakah tujuan dan hasilnya cepat juga? Lagi-lagi saya
serahkan pada pembaca untuk menelaahnya lebih lanjut. Dalam penjelasan
berikutnya saya sebagai penulis, coba mengajak pembaca mencari fakta-fakta
kenapa dengan bangsa kita ini, selalu terlambat dan terbelakang, yang
seharusnya tidak demikian.
Dari kesemua penjelasan di atas, saya meyakini adanya satu kekuatan dari
suatu kelompok masyarakat yang dapat menjadi andalan setiap bangsa untuk terus
berkembang menjadi bangsa-negara yang maju. Yakni, kelompok pemuda, tidak saja
berbicara kuantitasnya tapi kualitasnya masih banyak diharapkan terus
berevolusi. Pada bab II tentang kepemudaan akan menjadi pembahasan khusus dalam
buku ini.
Sedikit menyinggung pada permulaan buku ini adalah pemuda yang menjadi
investasi dasar bagi keberlangsungan negara-bangsa kita. Kenapa demikina? Sebab
alur kehidupan memberi banyak ruang pagi kelompok muda untuk berkembang,
belajar, mencerna, memahami, perjalanan bangsa-negara dari waktu kewaktu
sebagai modal di masa depan. Model pemuda yang serperti ini tentu tidak lahir
secara alamiah melainkan didesain sedemikian rupa, dan jangan pula berharap
pada takdir bahawa akan lahir sekelompok pemuda pada masa tertentu yang sesuai
harapan, karena “cara” itu tidak mengkhianati takdir itu sendiri. Cara bangsa
ini lah yang akan menentukan bagaimana bentuk pemudanya di masa mendatang.
[1]
Dibuktikan dengan peran Sunan Kali Jaga (Salah satu dari generasi terakhir Wali
Songo) yang menyiarkan Islam tanpa harus menghilangkan budaya setempat.
[2] Ingkung
adalah daging yang dimasak utuh diletakkan di atas saji.Ingkung melambangkan
sebuah kesucian, seperti bayi yang baru lahir, jauh dari noda dan dosa.
[3] Dalam
pengantar buku Islam, Doktrin dan Peradaban, Nurchalish Madjid.
[4] Asal
kata Kepung. Dalam Kamus Tesaurus Indonesia kata kepung memiliki padanan kata
sebagai berikut: kepung, mengepung v melingkari, memblokade, mengelilingi,
mengerumuni, mengisolasi, mengitari, mengungkung, mengurung, menjepit (ki),
menutup; pengepungan n blokade, pengisolasian, penutupan; terkepung v terdesak,
terhimpit, terisolasi, terjepit, terkungkung, terkurung, tersudut.
[5] Dalam
buku Negara Paripurna, Yudi Latif menjelaskan pokok persoalan dengan istilah
tumbuhnya “Nasionalis Purba” dimana kondisi perlawanan yang bersifat kedarahan
ini sebagai pergerakan dasar tumbuhnya semangat nasionalisme hingga memperkuat
gerakan perlawanan pada penjajah oleh Yudi Latif menyebutnya “Nasionalis Tua”
dimulai pada akhir abad ke-19 hingga tumbuh semangat Nasionalisme yang lebih
bersifat menyeluruh (Sabang sampai Merauke). Ini dimulai pada awal aba ke-20
hingga sekarang. Gerakan nasionalisme ini dari dulu hingga sekarang sejatinya
tidak terlepas dari doktri keyakinan beragama terutama sekali bersandar pada
semangat keislaman penduduk Nusantara. (hlm, 272-328).
[6] Dalam
buku Soekarno, Indonesia Menggugat menjelaskan tentang imperialisme lama dan
Imperialisme baru.
Rate This Article
Post a Comment
Thanks for reading: Aras Atas | Jalan Juang : Pendahuluan II, Sorry, my English is bad:)