Follow Aras Atas on Facebook Contact Us Open!
Join our telegram Contact Us Join Now!
Aras Atas | Jalan Juang : Pendahuluan II
Aras Atas | Jalan Juang : Pendahuluan II

Aras Atas | Jalan Juang : Pendahuluan II

Harapan yang Datang

Aras Atas - Upaya-upaya memperbaiki tidak bisa kita pungkiri telah tumbuh sejak lama. Masuknya sekelompok pembaharu di awal-awal masehi (penyebar islam awal) dan di pertengahan masehi (Wali Songo) secara massif di pertengahan zaman sempat membawa bangsa Indonesia pada jalan yang penuh dengan harapan maju, penuh dengan perkembangan, baik sosialnya, ekonomi, politik, dan berbudaya yang lebih manusiawi tanpa membuang budaya yang lebih dulu ada.[1] Kebesaran para pembaharu ini dalam menyebarkan syiar Islam di tanah Jawa memberikan kesan tersendiri bahwa Nusantara saat itu punya harapan baru dengan sistem yang dipercayai, setidaknya hal-hal yang tidak beradab sebagai bangsa dalam buku Jawa Tempo Doeloe, seperti dekil, suka makan serangga, kebiasaan membunuh tanpa alasan jelas, percaya takhayul, kemudia diatur dan tata kembali dengan sistem baru (baca juga sistem islam) lewat kebijaksanaan para Wali.

Kebijaksanaan wali songo memberi cara pandang hidup baru ditengan kehidupan orang-orang jawa kuno dengan kepercayaan mereka yang awal. Kebiasaan orang-orang jawa sangat keluar dari konteks kemanusiaan, tingginya kepercayaan mereka pada hal yang gaib, takhayul membentuk sikap mereka menjadi sesembahan. Tak kurang-kurang manusia pun dijadikan sesembahannya (tumbal) ketika satu pencapai dalam keyakinan mereka ingin menguasi drajat keilmuan yang tinggi. Merogo Sukma adalah drajat keilmuan yang cukup pamor dikalangan masyarakat jawa kuno, ilmu melalui proses ritual yang sedikit dipandang tidak “etis” oleh para pembaharu (wali songo), dimana manusia ditumbalkan, perempuan dan laki-laki duduk melingkar telanjang, ditengahnya ada arak, tumpeng dan ingkung[2] dari daging manusia.

Dari kebiasaan meraga sukma ini muncul kebiasaan baru seperti santet, pellet dan ngepet dari orang-orang yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya. Dengan masuknya para pembaharu peradaban mengubah kebiasaan jelek ini menjadi lebih beradab tapi tidak menghapus kegemaran orang-orang dari meraga sukma. Digantikannya arak dengan air biasa, ingkung daging manusia menjadi ayam, kebiasaan telanjang ditiadakan, diselipkan pujian-pujina yang islami. Dengan cara ini wali songo mampu merubah kebiasan buruk masyarakat yang sulit meninggalkan tradisi lama mereka, mantra-mantra dirubah menjadi kalimat tauhid seperti Laa ilaaha illallaah. Kemudian oleh Sunan Kali Jaga kalimat ini dijadikan peminatan bagi orang-orang jawa yang gila akan kesaktian, dengan menyebut ilmu “kalimosodo” (maksudnya kalimat syahadat). Dengan ini masyarakat tertarik mepelajarinya, jadilah penyebaran ajaran ini terhindar dari peperangan, perlahan tapi pasti segenap ajaran Islam menjadi sistem hidup masyarakat nusantara hingga sekarang.

Jauh sebelum para pembaharu ini datang pada abad ke 14 silam, nusantara yang kita kenal telah berperadaban maju. Melahirkan rumusan-rumusan kehidupan yang maju, seperti sistem agrarian pertanian, sistem pelayaran, sistem tata negara yang merujuk pada kitab Nagarakartagama tulisan Empu Prapanca. Buda-Hindu menjadi sandaran spiritual masyarakat nusantara sebelum akhirnya habis dengan sendirinya seiring datangnya para pembaharu.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) juga mengulas tentang Nusantara dalam bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban, Ia menjelaskan bahwa kemajuan dan kebesaran Nusantara sebagai bangsa sudah dicapai sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit, ini dibuktikan dengan fosil-fosil dan bangunan yang menandakan canggihnya masyarakat saat itu.[3] Tidak sebatas kontruksi bangunan yang diciptakan oleh para leluhur kita, jejak ilmu pengetahuan juga sempat menjadi sorotan dunia internasional, saat itu. Terbukti adanya sekolah tinggi (semacam Universitas) di zaman Sriwijaya, karya tulis seperti tulisan Raja Jayabaya, Negara Kartagama, manuskrip-manuskrip dari daun lontar, kitab suta soma dll. Ini semua kita miliki jauh sebelum bangsa-bangsa barat mengeskploitasi semua keadaan hingga tanpa tersisa lagi. Hingga sekarang bangsa ini menjadi bangsa yang serba salah dari semua sisi. Bukti-bukti kebesaran bangsa zaman itu hilang dan sulit membuktikan lagi sebagai suatu kebenaran menurut ilmiah modern. Efek dari penjajahan oleh bangsa luar sangat berdampak, sampai saat ini bentuk-bentuk penjajahan itu masih sangat terasa.

 

Situasional Negara-Bangsa

Di bawah ini saya coba memaparkan terlebih dahulu seperti apa gambaran bangsa kita saat ini, agar bisa menentukan sikap dan menyimpulkan bahwa kita sebenarnya sedang dalam situasi “Terjajah”.

Kalimat yang menarik untuk menjelaskan keadaan Indonesia saat ini adalah “Indonesia di Tengah Kepungan Global”, coba perhatikan kalimat tersebut, Indonesia di Tengah Kepungan Global. Kata Indonesia dalam kalimat ini adalah objek tunggal yang di sasar oleh banyak hal, seperti sebuah ‘kue bolu’ yang selalu dilirik oleh banyak mata. Kemudian kata di tengah menandakan Indonesia (sebagai objek tunggal) tidak bisa ke mana-mana lagi alias terdesak di tempat dengan ruang gerak yang sanagt sempit, apa penyebabnya? Perhatikan lagi kalimat setelah kata di tengah, ada kata kepungan[4] bila diterjemahkan secara sederhana menjadi serangan segala arah, bila kita jernihkan lagi masalahnya, kata serangan adalah bersifat merusak, merebut, mendikte, mengendalikan, menguasai, dan tanpa kebebasan dari pihak yang diserang. Jadi konotasi dari kata kepungan bermuatan “negatif”. Oleh siapa? Kalimat setelah kata kepungan yakni Global, kita bisa artikan kata global dengan sesuatu yang besar, luas dan kuat, hampir dipastikan akan menang atau tidak bisa dikendalikan oleh yang kecil. Efeknya adalah terjadi keterbatasan atau sempitnya ruang kebebasan dari mulai pola pikiran, pola sikap dan pola laku pada Negara-negara kecil dan berkembang dihadapan wacana globalisai ini. Akhirnya kesan yang tersampaikan dalam situasi ini terhadap Negara dan bangsa Indonesia jadi begini “hey Indonesia kamu mau kemana lagi kalau kenyataannya sudah dikepung, kamu nggak bisa ke mana-mana lagi”. Dari kutipan ini penulis ingin menyodorkan pertanyaan. Apakah pemerintah Indonesia bisa terbebas dari kebijakan politik Internasional? Kenapa Rupiah melemah di hadapan mata uang Dolar? Bisakah Indonesia terbebas dari hutang luar negeri? Kenapa haru hutang sementara depan mata kita melihat kekayaan alam di bawah perut bumi Indonesia? Siapa yang menjadikan Indonesia tidak berkutik seperti ini? Dari dalam atau pihak luarkah? Nanti kita akan urai lebih lanjut.

Kira-kira para pembaca terima jika kata kepungan itu sama dengan kata “PENJAJAHAN” jadi kalimat yang sesu-ngguhnya dan kenyataan sebenarnya adalah “Indonesia di tengah penjajahan Global”. Masa iya Indonesia masih terjajah?

Mari kita telusuri biar tidak menjadi fitnah sejarah dan masa depan. Kita kembalikan cerita ke zaman Penjajahan VOC (Belanda untuk Inggris). Gosipnya Indonesia dijajah 350 tahun oleh VOC, dan sayangnya gosip ini sudah tercatat dalam buku-buku mata pelajaran sejarah di negeri ini, dalam artian khusus Indonesia mengakui gosip itu menjadi kebenaran umum. Parahnya lagi diajarkan dari generasi ke generasi lewat kurikulum pendidikan nasional.

Kata penjajahan sangat bernilai negatif, bukan tanpa alasan dan sebab, penjajahan bertujuan menguasai secara penuh, betapa Indonesia pada zaman VOC berkuasa terkungkung tak berdaya. Banyak korban berjatuhan, gugur akibat pertempuran lantaran tidak rela untuk dikuasai hak-haknya, banyak meninggal akibat kelaparan dan kelelahan karena menjadi pekerja paksa (Kerja Rodi). Pada masa itu rakyat Indonesia diperintahkan untuk menanam rempah-rempah secara paksa dan tanpa imbalan, hingga disebut sistem tanam paksa oleh pemerintah VOC. Kemudiann pada zaman penjajahan Jepang ada istilah ROMUSHA yang lebih kejam dari RODI namun intinya sama, yakni kerja mati-matian untuk keuntungan pihak penjajah.

Ulasan singkat seperti apa itu penjajahan, sesungguhnya sangat tidak mengenakan dan menyiksa lahir dan batin bagi yang terjajah. Tapi sejarah bukanlah hal yang tidak ada manfaatnya, dalam kitab sucipun diajarkan untuk mengambil pelajaran dari masa lalu untuk mengubah masa depan dan kejadian dimasa lalu yang amat menyakitkan itu tidak lagi terulang. Mari kita bandingkan antara penjajahan globalisai (menjajah model sekarang) dengan penjajahan VOC dan Jepang, apakah sama? Secara etimologi sangat berbeda, tapi ingat penjajahan itu memiliki tujuan, apapun cara untuk menjajah tujuannya adalah “MENGUASAI”.

Situasi penjajahan lama, memang benar telah banyak perlawanan dari pelosok-pelosok Nusantara oleh pejuang-pejuang kala itu, hingga muncul pahlawan-pahlawan besar yang terus kita junjung seperti, Pangeran Diponegoro, Pangeran Hasanuddin, Tengku Umar, Cut Nyak Dien Kapiten Patimura dll. Masih banyak nama-nama besar lainya, namun perjuangan mereka bersifat kedaerahan, hingga tidak memberi banyak perubahan kepada bangsa secara keseluruhan.[5]

Setelah sekian lama tersiksa bangsa ini melahirkan pejuang-pejuang sejati yang lebih menempuh jalur diplomasi politik, nama besar yang mewakili perjuangan ini adalah Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Kedua nama besar ini menempuh jalur yang tidak menimbulkan banyak kerusakan fisik pada Negara dan Bangsa. Bung Karno dan Bung Hatta menasionalkan perjuangan mereka, mengatas namakan seluruh rakyat Indonesia hingga membuahkan hasil yang sangat manis, yakni Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Semangat perjuangan yang dihasilkan oleh pejuang-pejuang di atas harus terus ditanamkan dalam sanubari anak bangsa, semangat pantang menyerah dari mereka benar-benar pantas untuk ditiru. Jalur yang menjanjikan untuk menularkan semangat itu adalah Pendidikan Nasional yang dimulai oleh pemerintah itu sendiri sebagai satu sistem yang bertanggung jawab untuk mengatur arah perkembangan negara.

Kembali pada masalah kurikulum yang sempat disinggung diawal, harusnya kehadiran kurikulum pendidikan nasioal adalah sebagai penjernih pemahaman kolektif seluruh bangsa disetiap generasinya. Kurikulum pendidikan juga perlu menjiwai penggalan syair lagu Indonesia Raya yang berbunyi “Bangunlah Jiwanya”. Bahwa kehadiran kurikulum tidak mengkerdilkan mental penghuni Negara ini, hingga tertanam dari generasi ke generasi pada benak mereka bahwa bangsa ini pernah menjadi bangsa yang dimarjinalkan sangat lama dan itu sangat pahit.

Keterangan yang sudah ada bahwa Belanda pertama kali datang ke Nusantara (nama sebelum Indonesia) di Banten yang saat itu menjadi pusat pemerintahan dengan tujuan berdagang dan membeli rempah-rempah untuk dibawa ke eropa. Jika kenyataan Belanda datang pertama kali dengan tujuan berdagang, tidak adil rasanya bila itu dianggap sebuah penjajahan mutlak. Sebab dikatakan menjajah itu adalah penguasaan atas satu wilayah dari mulai sistem dan wilayahnya. Bila memang Belanda berniat menjajah Nunsantara saat itu dengan alasan masuknya adalah berdagang, tidak bisa juga menjadi kenyataan bahwa Belanda telah menjajah Nusantara semenjak 1652 M sampai 1942 M. Seharusnya pernyataannya adalah Belanda membutuhkan 300 tahun untuk menjajah Nusantara secara penuh yang akhirnya dikalahkan oleh pasukan Jepang yang datang sebagai “Saudara Tua”. Jadi orang akan berpikir sebegitu hebatnya bangsa ini sampai-sampai belanda membutuhkan ratusan tahun untuk menjajahnya, yang pada akhirnya belanda hanya mampu menjajah Nusantara selama 50 tahun saja bukan?.

Nampaknya kalimat yang saya tawarkan lebih enak dibaca dan didengar. Bila dibandingkan pernyataan Indonesia pernah dijajah oleh Balanda selama 350 tahu, selain mengandung kebohongan dan sangat mengkerdilkan mental. Tidak sesuai dengan fakta bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar yang pernah menaklukkan Asia tenggara dengan kejayaan Siriwijada dan Majapahit. Jiwa yang hendak dibangun lewat syair lagi Indonesia raya tidak tercapai karena generasi telah tertipu oleh kebohongan yang cukup lama, lalu akibatnya terhambat juga pembangunan di Negara ini.”

Bisa jadi orang-orang akan beranggapan, apa yang saya kemukakan di atas, sepertinya berlebihan dan kelebihan gawat. Penulis serahkan kembali pada pembaca bagaimana kiranya, baiknya menghayati masalah tersebut. Penulis coba menegaskan bahwa bangsa Indonesia sebetulnya masih dalam banyang-banyang penjajahan namun dengan bentuk dan cara yang berbeda. Penjajahan gaya lama sudah tidak efektif lagi, selain nampaknya merugikan kedua belah pihak juga menguras banyak energi. Maka penjajahan gaya baru mulai digencarkan melalui sistem dan cara yang tidak mudah ditebak siapa lawan dan siapa kawan. Namun situasi penjajahan gaya baru ini menimbulkan efek yang sangat luar biasa bagi sasaran penjajah.  Telah saya urai diawal bagaimana memahami penjajahan era millennia ini, dan akan dibahas lebih lanjut lagi pada bab-bab berikutnya.[6]

Mengupas masalah ini adalah penting untuk membuka mata semua pihak, nampaknya kita setuju dengan pendapat Cak Nur bahwa perlu bagi kita untuk terus membahasa dan meperlebar bahasan mengenai paham kebangsaan, agar tidak lengah dengan sutuasi kebangsaan yang serba dikendalikan oleh tangan-tangan luar. Mudahnya kita diadu domba oleh mereka, adalah tanda betapa kita masih dikendalikan secara halus hanya lewat isu-isu memecah belah umat, lantas mereka hadir sebagai pahlawan kesiangan, sambil menikmati kemanangannya. Bukan isapan jempol belaka, bahawa ada sesuatu yang berharga yang kita miliki, yang diwariskan Tuhan untuk keberlangsungan hindup sebagai bangsa Indonesia, baik itu material goegrafisnya, atau spiritual kehidupan berbangsa, maupun hubungan keduanya sebagai ciri khas bangsa Indonesia.

Lantas apakah pihak yang bukan dari bangsa Indonesia berhak mengambilnya? Penulis tidak mengatakan tidak, namun ini menyangkut anugerah dan amanah (seperti Rahman dan Rahim dalam pemahaman orang muslim). Ibaratkan pohon mangga dalam pekarangan rumah, jatuh buahnya tidak jauh dari pagar rumah mudah sekali orang luar mengambil buah yang jatuh itu. Lantas siapa yang berhak memiliki buah itu? sudah tentu pemilik si pemilik pekarangannya, namun jika ada orang luar yang mau mengambil, sudah barang tentu harus seizin pemilik pekarangan. Kenyataannya, pemilik pekarangan memberikan izin, dengan beberapa perjanjian diatas kertas, namun apa yang terjadi, buah itu selalu dinikmati oleh orang luar, untuk kesejahteraan mereka saja, pemilik pekarangan apa daya hanya menerima dan menunggu kebaikan dari sipeminta izin. Ini bukan lagi “lucu” tapi kelewatan “baik”, aneh, pemilik malah menunggu kebaikan tamu baru bisa menikmati manisnya buah mangga itu.

Jelas analogi di atas jauh dari harapan dan cita-cita Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara kita. Pada sila ke-5 Pancasila, menegaskan untuk siapa kemaslahatan itu diprioritaskan, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jelas disampaikan dalam sila ke-5 adalah segala perjuangan dan hasil perjuangan kemaslahatan itu diperuntukkan bagi (untuk) kesejahteraan rakyat Indonesia, bukan oleh dan untuk pihak luar (asing). Kalau pun untuk asing, itu hanya berdasarkan kebaikan hati dari bangsa Indonesia saja, dengan pertimbangan bangsa sendiri sudah tercukupi.

Tentu, kebijakan yang mengedapankan kepentingan bangsa terlebih dahulu, haruslah beririsan dengan sistemnya, sebagai daya mendukung. Sebab niat tanpa diupayakan tidak akan menghasilkan apa-apa, tapi niat dan upaya juga harus sejalan dengan caranya, jika caranya tidak sejalan dengan apa yang diinginkan maka kemaksimalan hasilnya tidak utuh, bahkan bisa saja nihil. Contoh, jika kita memerlukan beras, maka menanam padi adalah caranya, ilmu menanam padi harus pula dikuasai. Namun jika tidak dinilai ngawur melihat arah pemerintahan Indonesia sekarang ini nampak sekali apa yang diinginkan tidak sama dengan upayanya, yang di inginkan dan butuhkan adalah beras tapi yang ditanam adalah jagung. Hal ini disebabkan banyak hal, tapi hal yang paling besar mempengaruhi adalah kepentingan asing yang jauh lebih menekan.  Sistem yang dialami sekarang ini memungkinkan juga bagi pihak luar (asing/aseng) untuk ikut campur dalam pengambilan kebijakan, apakah pertimbangan kemaslahatan bangsa lewat kebijakan bisa terjamin dengan utuh? Tentu akan terjadi konflik di dalam sistemnya, seperti yang kita simak dalam pemerintahan kita sekarang ini. Lalu, bagaimana caranya kita melindungi diri dari campur tangan pihak asing tersebut? Apa dengan sistem Pancasila bisa menjamin? Atau sistem Demokrasi? Khilafah? Monarki? Oligarki? Atau ada yang lain-lainnya?

Bagi penulis, kualitas sitem (pemerintahan) itu sangat dipengaruhi oleh kualitas manusia sebagai penyelenggara, karena manusialah yang menjalankan semua konsekuensi penyelenggaraan sebuah kenegaraan. Semisal, katakanlah sudah kita temukan sebuah sistem pemerintah sesuai petunjuk Tuhan, sudah barang tentu untuk urusan pelaksanaanya adalah urusan manusia, karena manusialah yang menjalankan semua konsekuensinya sekalipun itu perintah langsung dari Tuhan. Namun terdapat juga pengecualian oleh Tuhan, bahwa tidak semua manusia mampu menangkap maksud tuhan dengan tepat, malainkan dikhususkan pada orang-orang yang tertentu.

Pada urutan pertama secara keyakinan Islam adalah Nabi yang dengan cemerlang menterjemahkan maksud Tuhan dengan tepat. Urutan berikutnya ialah orang-orang yang berilmu, filsof dan seterusnya. Tidak semua manusia harus dan mampu, maka jika semua manusia ikut campur dalam satu masalah, bayangkan saja seperti apa yang akan terjadi, lamban dalam penyesaiannya, kacau dalam komunikasinya, banyak energi yang dihabiskan hanya satu urusan. Silahkan pembaca mencarmati sistem domokrasi yang kita praktikkan di negara ini. Boleh kita berkesimpulan, secara sistem, demokrasi sangat cepat merambat kemasyarakat, tapi apakah tujuan dan hasilnya cepat juga? Lagi-lagi saya serahkan pada pembaca untuk menelaahnya lebih lanjut. Dalam penjelasan berikutnya saya sebagai penulis, coba mengajak pembaca mencari fakta-fakta kenapa dengan bangsa kita ini, selalu terlambat dan terbelakang, yang seharusnya tidak demikian.

Dari kesemua penjelasan di atas, saya meyakini adanya satu kekuatan dari suatu kelompok masyarakat yang dapat menjadi andalan setiap bangsa untuk terus berkembang menjadi bangsa-negara yang maju. Yakni, kelompok pemuda, tidak saja berbicara kuantitasnya tapi kualitasnya masih banyak diharapkan terus berevolusi. Pada bab II tentang kepemudaan akan menjadi pembahasan khusus dalam buku ini.

Sedikit menyinggung pada permulaan buku ini adalah pemuda yang menjadi investasi dasar bagi keberlangsungan negara-bangsa kita. Kenapa demikina? Sebab alur kehidupan memberi banyak ruang pagi kelompok muda untuk berkembang, belajar, mencerna, memahami, perjalanan bangsa-negara dari waktu kewaktu sebagai modal di masa depan. Model pemuda yang serperti ini tentu tidak lahir secara alamiah melainkan didesain sedemikian rupa, dan jangan pula berharap pada takdir bahawa akan lahir sekelompok pemuda pada masa tertentu yang sesuai harapan, karena “cara” itu tidak mengkhianati takdir itu sendiri. Cara bangsa ini lah yang akan menentukan bagaimana bentuk pemudanya di masa mendatang.

Catatan:

[1] Dibuktikan dengan peran Sunan Kali Jaga (Salah satu dari generasi terakhir Wali Songo) yang menyiarkan Islam tanpa harus menghilangkan budaya setempat.

[2] Ingkung adalah daging yang dimasak utuh diletakkan di atas saji.Ingkung melambangkan sebuah kesucian, seperti bayi yang baru lahir, jauh dari noda dan dosa.

[3] Dalam pengantar buku Islam, Doktrin dan Peradaban, Nurchalish Madjid.

[4] Asal kata Kepung. Dalam Kamus Tesaurus Indonesia kata kepung memiliki padanan kata sebagai berikut: kepung, mengepung v melingkari, memblokade, mengelilingi, mengerumuni, mengisolasi, mengitari, mengungkung, mengurung, menjepit (ki), menutup; pengepungan n blokade, pengisolasian, penutupan; terkepung v terdesak, terhimpit, terisolasi, terjepit, terkungkung, terkurung, tersudut.

[5] Dalam buku Negara Paripurna, Yudi Latif menjelaskan pokok persoalan dengan istilah tumbuhnya “Nasionalis Purba” dimana kondisi perlawanan yang bersifat kedarahan ini sebagai pergerakan dasar tumbuhnya semangat nasionalisme hingga memperkuat gerakan perlawanan pada penjajah oleh Yudi Latif menyebutnya “Nasionalis Tua” dimulai pada akhir abad ke-19 hingga tumbuh semangat Nasionalisme yang lebih bersifat menyeluruh (Sabang sampai Merauke). Ini dimulai pada awal aba ke-20 hingga sekarang. Gerakan nasionalisme ini dari dulu hingga sekarang sejatinya tidak terlepas dari doktri keyakinan beragama terutama sekali bersandar pada semangat keislaman penduduk Nusantara. (hlm, 272-328).

[6] Dalam buku Soekarno, Indonesia Menggugat menjelaskan tentang imperialisme lama dan Imperialisme baru.

Rate This Article

Post a Comment

Thanks for reading: Aras Atas | Jalan Juang : Pendahuluan II, Sorry, my English is bad:)

About the Author

Aras Atas
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.
// //