PENDAHULUAN
Aras Atas - Dalam keadaan yang normal
melihat Indonesia secara kultur, Geografis, potensi SDM dan SDA, harusnya
menjadi negara yang super kaya, maka dengan kekayaan yang super ini menjadikan
Indonesia negara yang maju, kemaslahatan seluruh rakyat pastilah terjamin,
karena ditopang dengan kekayaan alamnya. Namun pada sisi yang lain, kekayaan
alam Indonesia yang kita kenal ini, tidak akan bermanfaat bila tidak dikelola
dengan benar, maka sudah barang tentu membutuhkan sumber daya manusia yang
kompeten. Selain sumber daya manusia, kita juga membutuhkan sistem pengelolaan
yang sejalan dengan kekayaan dan kebutuhan bangsa ini.
Tanpa harus menarik kecurigaan yang berlebih, berdialektika dalam semua
lini kehidupan berbangsa dan bernegara harus tetap dikembangkan, berspekulasi
atas tiap kemungkinan peristiwa disebabkan oleh adanya pihak lain yang secara
sengaja menjadikan bangsa Indonesia seperti ini (ajang bagi-bagi keuntungan
atas penguasaan terhadap aset nega-a) pun tetap mendapatkan ruang. Hal ini akan
menumbuhkembangkan semangat peduli untuk menjaga keutuhan dan harmonisasi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Romantisme atas kebesaran sejarah bangsa
Indonesia jauh sebelum penjajahan berlangsung sangatlah luar biasa, dan
generasi muda bangsa sudah semakin pudar kesadarannya atas itu. Untuk itu
Pemerintah Indonesia juga harus betul-betul rasional dalam melihat dan
menganalisa isu, melahirkan kebijakan yang akan bersentuhan langsung dengan
masyarakat bawah yang benar-benar bisa diterima dengan akal sederhana. Semua
ini adalah tanggungjawab semua pihak, terutama Pemerintah dan koorporation,
bukan justru berkoorporasi untuk keuntungan pribadi dan kelompok.
Dengan fakta kekayaan alam Indonesia yang harusnya menjadi negara maju,
malah terbalik dengan fakta negara ini tidak berkembang sama sekali. Sebabnya
karena faktor luar memang terjadi, tapi faktor dalam juah lebih besar
pengaruhnya. Bukan rahasia umum lagi, bilamana pemimpin kita sudah berjanji
pada rakyatnya maka ingkar janji pun turut serta dalam cerita selanjutnya.
Watak ini cukup menjadi momok dalam perjalanan kebangasaan kita khususnya dalam
panggung politik (praktis), ditambah lagi sistem seakan memberi ruang bila
tidak memberi janji tidak pula terpilih. Yang bermasalah orangnya atau kah
sistemnya? Ini sulit diterangkan dengan cara yang gegabah tanpa rasionalisasi
yang kuat.
Ada semacam mentalitas kebangsaan yang harus kita benahi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam buku Jawa Tempo Doeloe, ditulis oleh James R.
Rus menceritakan bagaimana realita kehidupan manusia Jawa saat itu penuh dengan
mistik, kotor, malas, tidak beradab dll. Meski James terkategori sebagi penulis
orientalis, namun layak dijadikan rujukan (sementara). Lebih lanjut dalam buku
ini menceritakan sebagian besar manusia Indonesia yang jauh dari kriteria
manusia yang berperadaban, ini terjadi pada manusia Indonesia di masa sebelum
masuknya penjajahan. Pada pembahasan lanjutannya pada era-era awal kemerdekaan
manusia Indonesia masih saja digambarkan jelek sifatnya, gampang menerima suap,
tidak amanah dan terlebih lagi tidak memiliki visi hidup berbangsa dan
bernegara.[1]
Apa yang diungkap oleh James di atas, lebih awal telah ditulisan Mochtar
Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”, yang menggambarkan tidak kalah “buruk”
dari pemikir orientalis sehingga perih bila menerima kenyataannya. Terdapat
sifat dasar yang jelek dari manusia Indonesia, yang entah dari kapan terbentuk
dan menjadi karakter sulit diselami dengan pasti. Ciri-ciri yang disebut oleh
Mochtar Lubis sebagai ciri manusia Indonesia diantaranya, munafik, segan,
kurang bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayu, berwatak lemah dan
hanya satu yang positif yakni berjiwa estetik(berbau seni/kreatif).[2]
Mungkin penulis bisa menambahkan beberapa seperti, iri hati atau dengki, suka
menggunjing disamping banyak juga ciri-ciri yang sangat positif yang kemudian
menjadi cerminan kebudayaan bangsa.
Banyak kecaman atas tulisannya tentang manusia Indonesia, Mochtar dianggap
berlebihan dalam mengurai “Manusia Indonesia”. Dia sempat diminta untuk menarik
kembali kata-katanya (kriteria yang disematkan kepada manusia Indonesia), namun
Mochtar bersikukuh dengan penilaiannya dan tidak mau menarik kembali apa yang
sudah dia tulis, meski pun diminta oleh pelbagai pihak. Mochtar membalasnya
dengan lebih pedih lagi dan mengatakan, tidak ada yang berubah dari manusia
Indonesia, malah “semakin parah”.
Mengacu pada dua paradigma di atas, sekali pun belum bisa
dipertangungjawabkan bahwa manusia Indonesia benar-benar memiliki watak yang
buruk, namun patut juga dijadikan bahan renungan bagi kita.
Menelisik sejarah perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang
dipengaruhi oleh rentetan sejarah, ini terbangun dari sistem dan pengalaman
empirik dari manusianya yang panjang. Pengaruh ini dapat ditelaah dari sistem
kerajaan-kerajaan Nusantara kala itu (raja-raja yang terbentuk/dibentuk di bawah
tekanan penjajah), yang kurang memperhatikan sisi kemanusiannya dan terlalu
fokus pada program pembangunan infrastruktur pemerintahan, dan pola ini masih
terbawa-bawa sampai sekarang. Disadari atau tidak pola-pola ini memberi dampak
yang kuat pada psikologi masyarakat kita. Pada masa penjajahan Hindia Belanda,
dengan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau disingkat VOC sebagai
perpanjangan tangannya, kondisinya semakin parah, di mana situasi psikologi
masyarakat semakin ditekan dari segala arah, dijadikan budak tanpa berpikir
yang dia tahu adalah kerja sesuai perintah jika membangkang akan disangsi
bahkan disiksa. VOC kala itu tidak saja menekan sisi ekonomi bangsa, melainkan
sampai sistem pemerintahan, politik, dan pendidikan juga menjadi medan penguasaan
mereka, yang dikekola dalam bentuk perusahaan.[3]
Situasional seperti ini membentuk secara perlahan hingga berganti generasi, kondisi dimana manusianya tidak mampu membela diri, jangankan mebela diri berkeluh kesah dan didengar majikannya (raja-raja) akan menambah persoalan. Kondisi ini terjadi cukup lama, hingga membentuk sifat masyarakat menjadi sungkan, penakut, tidak berani ambil risiko, pendiam karena memendam perasaan, hidup dengan kepura-puraan yang dipaksakan karena rasa takut dan sungkan hingga bulat menjadi munafik seperti yang diutarakan Mochtar Lubis dalam bukunya.
...Kemudian VOC mengalami kebangkrutan yang luar biasa, bukan persoalan
kalah dalam peperangan (konvensional), melainkan karena perilaku korup dari
internal VOC sendiri. Praktek korup dari VOC ini yang kemudiann menular ke
dalam masyarakat luas, yang akhirnya membawa kebangkrutan besar dari VOC
sendiri. Maka mereka merubah pola kekuasaan mutlak menjadi kekuasaan yang
bersahabat, menjadikan raja-raja kecil disetiap sudut Nusantara sebagai
kaki-tangan mereka.[4]
VOC kemudian tidak lagi bersentuhan secara penuh dengan masyarakat bawah,
melainkan penguasa-penguasa atau raja-raja kecil dijadikan kaki-tangan mereka,
untuk merayap, menghisap darah masyarakat kecil dengan sistem pungutan pajak
dan disetor pada pemerintaha Belanda. Bayangkan saja, dengan situasi serba
susah lantas dipungutkan pajak secara paksa, apa kira-kira masyarakat merasa
nyaman? Pengalaman panjang bangsa Indonesia bersama VOC ditambah lagi adanya
orang pribumi yang diberikuasaan (raja-raja kecil) yang turut menindas telah
meninggalkan jejak yang buruk bagi masyarakat, rasa trauma telah menyentuh
kejiwaan masyarakat kita menjadi bermental “babu” (bermental bawahan, dipandang
seperempat manusia) hingga terbawa-bawa dikehidupan mereka selanjutnya.
Kenyataan baru yang dihadapi bangsa ini adalah, tersisihnya anak negeri di
pelbagai bidang dalam dunia profesional kerja, zaman memang bukan lagi zaman
penjajahan, tapi situasi masih tidak menguntungkan bagi pribumi. Belum lagi
persaingan antar saudara (sebangsa) sepertinya mengabaikan ikatan kebangsaan yang
sudah dibangun sejak lama, perilaku korup oleh elit pejabat, mengisap darah
masyarakat kecil dengan pola tidak jauh berbeda dengan zaman VOC.
Masyarakat sudah pandai memprotes, pengalaman panjang setidaknya sudah
mampu mereka simpulkan, kenapa masih saja susah? Telah banyak kita dengar dan
pelajari, bangsa ini menyimpan sejuta keluhuran dari nenek moyangnya. Kini
mudah sekali dipertanyakan, apakah peninggalan-peninggalan leluhur itu masih
cocok dengan kebutuhan zaman modern ini? Kehidupan kemanusiaan orang-orang
Indonesia sungguh telah jauh dari nilai-nilai luhur bangsa yang dulu. Masalah
yang tidak baik dalam bangsa ini seperti tidak pernah ada habisnya, bahkan sepi
peminat dalam memperbaiki situasi yang sudah terlanjur rusak ini, saya berharap
semoga ini hanya kegelisahan pribadi saya saja dan juga semoga saya salah, pada
apa yang sering dikhawatirkan tentang hancurnya Indonesia sebagai NKRI.
Oleh karena pengalaman panjang ini pula kita sebagai masyarakat menerima
sistem yang lebih menjajikan, di mana kita sendiri yang menentukan siapa yang
layak atau baik dijadikan pemimpin, bukan orang yang menindas dan memperbudak
rakyatnya sendiri seperi cerita masa lalu. Bahkan sistem ini membolehkan kita
sendiri maju menawarkan diri sebagai solusi atas pengalaman buruk dalam sejarah
itu, berjanji jika terpilih akan adil dan mensejahterajan, ratu adil lahir dari
segala penjuru mata angin. Tapi akhirnya sama saja, tohk ingkar janji juga,
menindas juga meski secara tidak langsung. Lagi-lagi ulasan buku Jawa Tempo
Doloe dan Manusia Indonesia menghantui kenyataan hidup kita sendiri.
[1] James R.
Rus, Jawa Tempo Doeloe, satu buku kumpulan cerita perjalanan orang-orang luar
yang datang ke Indonesia dari zaman sebelum penjajahan, masa penjajahan, masa
kemerdekaan dan masa setelah kemerdekaan.
[2] Mochtar
Lubis, Manusia Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.
[3] Reden
Rachmadi, Pahlawan, Boleh Siapa saja, sub pembahasa; Antara Kursi dan Korupsi,
hlm 27-29. Thn 2018
[4] Ibid.
Rate This Article
Post a Comment
Thanks for reading: Aras Atas | Jalan Juang, Sorry, my English is bad:)