Pahlawan Boleh Siapa Saja
HAM: Hari-hari Amat Menyakitkan
Oleh: Raden Rachmadi
Jumat, 24 Desember 1997
Aras Aras | Sudah sama-sama kita ketahui bahwa bila berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Batasan teritorial serta komposisi perbincangan meliputi hak hidup, hak beragama, hak berpendapat, hak berkumpul dan berserikat, hak mendapatkan pendidikan, hak untuk menentukan kehidupan secara bebas dan wajar.
Sejarah bangsa Barat mengukir lebih awal pengakuan salah beberapa unsur HAM secara sosiopolitis pada abad ke 6-3 SM. Yakni pada masa Yunani kuno dengan mengembangkan hak berpendapat serta tak berkumpul dan berserikat melalui polis-polis. Hal itu kalau kita istilahkan sekarang dengan demokrasi langsung (direct democracy). Namun di Indonesia-pun pengalaman akan pengembangan salah satu unsur HAM sudah ada sejak pertengahan abad ke-6 Masehi. Tercatat prasasti Kelurak, yang ditulis pada tahun 704 Caka (26 September 782 Masehi). Raja pengganti Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya yang bernama Rakai Penangkaran Dyah Shankara Sri Sanggramadhananjaya telah memeluk agama Budha Mahayana. Padahal Sanjaya sendiri, pendiri dinasti Sanjaya, beragama Ciwa (Hindu). Dan sejak saat itu hak untuk beragama, yang merupakan salah satu unsur HAM telah diakui. Bahkan pada masa Mataram kuno ini, dibuatkan satu Candi yang melambangkan persatuan kedua agama, yakni candi Plaosan Lor. Konsep ini pula dikembang pada masa Majapahit.
Bila secara historis demikian adanya, maka Indonesia memiliki akar acuan penginternalisasian konsep HAM yang telah dikembangkan jauh sebelumnya. Bahkan sangat mungkin pelaksanaan konsep ini dilakukan secara mandiri yang bernuansa ke-Indonesia-an tanpa embel-embel pengaruh dari Barat, meski sejarah barat sudah lebih dulu mengembangkannya.
Namun bagaimana kondisi kontemporer pada tataran aplikatifnya? Bau darah akibat pecahnya Perang Dunia II kadang masih menjadi trauma umat manusia, khususnya Bangsa Barat. Yang nota bene merupakan pelaku-pelaku inti. Yang saya maksud di sini adalah bagaimana waktu itu National Sozialistische Artures Partei (baca: Nazi) secara membabi buta memberangus nilai-nilai HAM.
Mereka membunuh hak hidup serta hak menikmati kehidupan secara bebas dan wajar Bangsa Yahudi yang tersebar di Eropa saat itu
Namun seperti pengakuan Yacobo Timmerman, seorang Zionis yang memaparkan dalam bukunya The Longest War, mestinya Bangsa yahudi itu trauma untuk berbuat yang melanggar HAM. Tapi yang terjadi justru terbalik, mereka menghalalkan pembunuhan dan pengusiran bangsa Palestina.
Begitu pula di Indonesia, menurut catatan Yapusham, setidaknya dalam media Januari 1995-Maret 1996, pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul/berserikat sebanyak 26 persen, dan yang terbanyak (52 persen) adalah pelanggaran berpenda-pat/berekspresi.
Dan yang paling banyak mendapat korban adalah tokoh politik/public figure yakni sebanyak 42 kasus, dan alasan palang-garan paling banyak (69 kasus) dengan alasan yang tidak jelas.
Inilah bahan renungan, ternyata kita masih jauh sebenarnya dari hal-hal yang berkaitan dengan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia. Dan apakah kalau kita berbicara tentang HAM bukan lagi Hak Asasi Manusia tapi Hari-hari amat menyakitkan? Mungkin benar apa yang pernah dikatakan oleh Sutardji Calzoum Bachri:
Air mata tanah air kami
Di sinilah kami berdiri
Menyanyikan air mata kami
Di balik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami
Di balik etalase megah gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami
Dan marilah kita mulai dari diri kita sendiri Untuk saling menghormati dan mengakui hak asasi yang merupakan anugerah dari Tuhan.
Rate This Article
Post a Comment
Thanks for reading: Pahlawan Boleh Siapa Saja-HAM: Hari-hari Amat Menyakitkan, Sorry, my English is bad:)