Follow Aras Atas on Facebook Contact Us Open!
Please wait 0 seconds...
Scroll Down and click on Go to Link for destination
Congrats! Link is Generated

Bulimia dan Praktik Politik Kita

Oleh: Raden Rachmadi

Gonjang-ganjing situasi sosial politik di tanah air kita saat ini semakin “semarak”. Namun kesemarakan ini sering kali menimbulkan implikasi negatif yang menyelingkuhi konsensus-konsensus yang dipandang ideal.

Sigmun Freud, menyatakan bahwa bila masing-masing manusia, baik individu maupun kelompok bergolak untuk meluputkan diri dari suatu kondisi yang membuatnya celaka, meluputkan diri atas segala realitas sosial yang minus serta alianatif, dan ketika yang lain juga bergolak untuk menghadirkan diri dari kesulitan yang sama, maka sangatlah wajar kiranya jika setiap manusia mempergunakan setiap alat yang ditemuinya. Kekerasan ada dalam lingkup ini.

Berapa kasus sosial politik di tanah air yang belakangan marak sangat konvergen dengan rumusan Freud di atas. Sebutlah tentang pembantaian keluarga Rohadi oleh pamannya sendiri, kekerasan di jalan raya yang menubalkan 4000 nyawa di Bali setiap tahunnya (Nusa, 6/5) “perkelahian” antara Cendekiawan —yang seharusnya selalu berpikir jernih, visioner objektif, dalam melihat permasalahan yang ada, antara Afan Gafar dan Gus Dur serta Arbi Sanit (Nusa, 12/7-15/7). Fenomena KIPP dimana Mulyana diganjar tuduhan OT di luar meja hijau (Nusa, 23/4) kasus dualisme PDI, gugatan Adi A Andijo yang dibalas dengan ancaman pemecatan, dan masih banyak lagi.

Tampaknya kondisi di atas bukan melulu disebabkan oleh perselingkuhan kepentingan elit politik yang berdampak pada bidang sosial, namun lebih jauh dari itu adalah suatu jenis kedepresian yang terjadi pada masyarakat kita. Ada satu jenis depresi yang tampaknya sinkron dengan kondisi di atas yang disebut bulimia. Dalam psikologi abnormal, menurut Leila Ch Budiman, bulimia adalah gejala lapar yang tidak pernah terpuaskan. Gejalanya, makan sangat berlebihan hingga kegiatannya hanya di seputar makan melulu. Sebagian kecil penyebabnya bersifat organik dan selebihnya karena persoalan psikologis.

Yang paling parah sudah tidak pandang bulu lagi, bukan saja makanan enak yang diabil, tapi makanan tidak enak ditelannya. Si penderita menggunakan cara ini untuk melampiasi perasaan depresinya.

Dalam bayangannya, “lapar” merupakan perwujudan akan kelaparan cinta kasih dan perhatian yang tak kunjung datang. Atau mengunyah makanan itu ekspresi baku hantam pada mereka yang sudah tega menyakitkan hatinya.

Sambil menggigit, mengunyah, dan menelan, dia merasa telah melumat lantakan musuh-musuhnya. Dr. Amien Rais menilai kondisi psikologi yang demikian dimungkinkan muncul mengingat dua momentum penting.

Yang pertama adalah momen Pemilu 1997 yang menurut pandangannya sendiri adalah saat yang menentukan untuk menjawab suksesi kepemimpinan nasional. Kedua adalah kematian Ibu Tien Soeharto. Dua momen ini menurutnya telah menimbulkan berbagai spekulasi politik. Spekulasi ini pada gilirannya tidak sedikit yang dilakukan secara kasar termasuk cara penggunaannya. Bahkan Gus Dur sendiri secara ekstrim melihat praktik politik yang demikian, menyimpulkan bahwa politik sudah tidak ada (Nusa, 12/7).

Segala persoalan yang ada tampaknya semakin tidak memperhatikan nilai etika, baik berupa hukum-hukum positif maupun konsensus-konsensus tak tertulis. Padahal politik sendiri, yang sekarang secara praktis disinyalir yang paling kuat sebagai penyelenggara norma etis ini, secara esensial tujuan awalnya adalah upaya manusia dalam mencapai bersama dengan mekanisme kooperatif lewat olah nalar yang pada gilirannya mengeksistensialisasikan nilai humanisme. Dengan kata lain praktik-praktik animalisme yang juga merupakan fitrah manusia, semangatnya itu dialihkan kepada praktik kontak nalar yang merupakan karakteristik tertinggi dalam diri manusia.

Sungguh kita harus mengibarkan bendera setengah tiang bila kondisi demikian memvisualisasikan praktik politik yang dilakukan oleh para politikus kita.

Jika “penyakit” itu yang diderita, maka hanya para “psikiater” yang bisa mendiaknosa melalui beberapa terapi. Jika David D Burns MD, Dr Myme Weissman mengusulkan dengan terapi kognitif, maka penulis mengusulkan afektif. Jenis penyembuhan ini merupakan suatu “operasi” yang merevitalisasikan sosial engineering kepada kondisi dan tata nilai ideal. Aktor-aktor yang berada pada garda terdepan sebagai “psikiater” adalah kelompok agamawan yang mempunyai jarak pandang permasalahan yang ada. Pada gilirannya diharapkan adanya penjernihan berpikir untuk mengembalikan nilai-nilai sikap yang mendekati ideal secara sosial religius. Dan bukankah dalam sistem metabolisme psikologis kita juga mengenal konsep stabilitas ketenteraman? Bahwa jika badan kita selalu berambisi untuk memakan apa saja, maka pada suatu saat psikologi kita menentukan untuk istirahat dan rekreasi. Tentu ini tidak hanya berlaku individual rapi juga skala sosial. Demikian Emha Ainun Nadjib berpendapat.

Namun nampaknya kita perlu untuk optimis melihat masalah ini. Angin diskursus global sekarang ini bertiup dari arah Timur. Misalnya, diskursus parenialisme serta isu global yang digagaskan oleh Hasan Hanafi tentang oksidentalisme. Pada dasarnya kedua diskursus mengarah kembali kepada nilai ketimuran yang mempunyai semangat religius tinggi. Dari sinilah kita dapat cara efektif konseptual kondisi kepada yang mendekati ideal.

 Tulisan Ini Pernah Dimuat Pada Jumat, 19 Juli 1996. Opini Harian Nusa

Baca juga :

Rate This Article

Thanks for reading: Bulimia dan Praktik Politik Kita, Sorry, my English is bad:)

About the Author

Aras Atas

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.
// //