Follow Aras Atas on Facebook Contact Us Open!
Please wait 0 seconds...
Scroll Down and click on Go to Link for destination
Congrats! Link is Generated

Kulikan Logika Sontoloyo

TENTANG NEGERI YANG DAMAI


Dari balik pohon, terdengar lantang suara radio dua band milik Sontoloyo...diskusi asyik dan seru antara penyiar radio dan seorang tokoh di wilayahnya seputar masalah

lokal dan nasional baru saja selesai. Menuju acara berikutnya operator siaran memutarkan Lagu Koes Plus (tanah surga atau apalah judulnya...Sontoloyo lupa). Operator dan penyiar seakan ingin menyampaikan bahwa antara imaji lagu, realita, dan apa yang baru saja didiskusikan terjadi kesenjangan yang luas...Sontoloyo ndak peduli, dengan wajah ceria ikut berdendang...

Bukan lautan hanya kolam susu 

Kail dan jala cukup menghidupimu 

Tiada badai tiada topan kau temui

Ikan dan udang menghampiri dirimu 

Orang bilang tanah kita tanah surga 

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman 

Orang bilang tanah kita tanah surga 

Tongkah kayu dan batu jadi tanaman

Yaaachhh...”hembusan nafas Sontoloyo...penuh tekanan dan beban mendalam”. Pikiran dan hatinya tentang negeri ini menyeruak deras, berpacu dalam emosinya yang sederhana. Lamunannya membawa pitutur yang mungkin patut juga kita ikuti...

Cerita negeri ini terlalu panjang hingga aku pun baru tahu separuh. Catatan tentangnya terlalu banyak sehingga dokumennya tercecer dimana-mana, dan baru beberapa lembar yang dapat kubaca...itupun belum semua bisa kupahami. Hampir disetiap sudut bahkan setiap jengkal negeri ini adalah keindahan, sehingga hari ini segenap penjuru dunia berebut ingin menguasainya dengan cara apa-pun.

Keluguan dan keramahan penghuni negeri ini tlah mereka salah artikan, hingga hari ini mereka menganggapnya “bodoh”. Mereka menganggap bahwa dengan “membayar” beberapa penguasa muda yang “membeo” cukup untuk membungkam seluruh negeri...”sabaarr brooo”...anak-anak muda yang kalian katakan “keren” dengan “kekuatan propaganda politik panggung” itu bukan apa-apa bagi kami. Kami baru sebatas kagum akan kecerdasannya berbicara, tetapi nilai itu masih jauh dari apa yang diajarkan kakek moyang kami. Penguasa-penguasa muda yang pongah itu bagi kami adalah “petugas negara” yang semestinya mengurus negeri dan seisinya dengan kebijaksanaan agar bisa menjadi tauladan seperti leluhur mereka dulu, dengan tujuan menuju kesejahteraan rakyat di bumi pertiwi ini. Tetapi jika hari ini mereka kalian ajak untuk “berdagang”, maka untung-rugi ada pada sisi kalian, kami akan tetap sejahtra dan damai, meski sedikit terusik...dan biaya mahal akan

 

kalian keluarkan untuk mengobati keterusikan kami itu. “Kalian itu tidak lebih dari Gerombolan Srigala yang masuk kampung dengan cara mngendap-endap, sementara penduduk kampung pura-pura tidak tahu karena kasihan melihat kalian kelaparan”.

Leluhur negeri ini tidak akan diam, penguasa-penguasa muda tidak akan bisa hidup tenang sebelum maaf tercurahkan, maka bersiaplah untuk menuai duka bersama atas “perdagangan” yang kalian upayakan. Hati kami akan mendapatkan salam dari para leluhur dalam sadar dan lena tidur kami, sehingga negeri ini akan tetap terjaga “meski kalian anggap sedang terlena”.

Sabda Dewa Raja senantiasa melekat dalam sanubari para penjaga negeri. Seberapa banyak kalian bisa cetak generasi tanpa rasa keadilan dan awam keberadaban, maka seratus atau bahkan seribu kali lipatnya negeri ini akan melahirkan generasi emas yang berkilau rasa adil, beradab, dan tunduk takluk dalam kearifan tauladan para leluhurnya...”kalian akan berdecak kagum brooo”. “Keropak” pelajaran disisakan dimana-mana oleh leluhur kami...dari keropak lontar hingga tembaga, bahkan di atas dataran nisan pun tidak luput menjadi tempat “fatwa pakerti luhur” leluhur kami...

Kakak dari Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono (1877-1952) mewariskan cara pandang atas cara menjalani hidup dan kehidupan dalam bahasa jawa. Pesan kehidupan itu kemudian diabadikan pada tulisan batu nisannya;

Sugih tanpo bondo                                         : Kaya tanpa harta

Digdoyo tanpo adji                                        : Tak terkalahkan tanpa kesaktian

Nglurug tanpo bolo                                : Menyerbu tanpa pasukan

Menang tanpo ngasorake                               : Menang tanpa merendahkan

Trimah mawi pasrah                                 : Menerima juga pasrah

Suwung pamrih tebih adjrih                         : Jika tanpa pamrih tak perlu takut

Langgeng tan ono susah tan ono bungah : Tetap tenang meskipun ada duka dan ada suka

Anteng manteng sugeng djeneng                 : Tidak macam-macam membuat nama baik terjaga.

 

Fatwa pakerti ini menjadi semakin epic dan sakral ketika Mbah Tejo menembangkannya dalam balutan nada dan irama...meski syairnya sedikit berubah, namun maknanya tetaplah terjaga.

Sugih tanpo bondo (kaya tanpa harta) 

digdoyo tanpo aji (dikjaya tanpa kesaktian)

Trimah mawi pasrah (terima dengan kepasrahan) 

sepi pamrih tebih ajrih (tidak pamrih – jauh dari takut)

Langgeng (abadi)...

Tanpo susah (tanpa duka)...

tanpo seneng (tanpa suka) 

Anteng manteng (tetap tenang)...

Sugeng jeneng (nama baik terjaga)

“Mengernyit kening Sontoloyo...urat-urat dipelipisnya tampah hijau kemerahan”. Aku lebih memilih Wajah Asli ketimbang harus menggunakan Topeng dinegeri yang baru sejengkal setengah aku kenal, tapi aku rela mati untuknya...topeng cap apa yang kalian perdagangkan?...produk gagal apa yang kalian tawarkan?...bagiku semua itu tidak lebih dari sekedar propaganda, dan aku pernah membaca dokumen kalian tentang itu...bahkan jauuhhhh sebelum kalian datang Mbah Buyut kami (Raden Mas Jayabaya) telah

menyisakan catatan khusus tentang kalian...sayangnya dokumen dan catatan itu terserak dan tidak terawat baik dalam memori petugas negeriku saat ini. Kalian pernah datang dan mengaku sebagai bangsa kelas tinggi, namun kekejian dan kemelaratan kalian pertontonkan, bahkan isi perut pertiwi kami kalian keruk...kalian pernah datang dengan topeng pahlawan berlabel “saudara tua”, tetapi toh kesengsaraan dan penghinaan kalian berikan. Sekarang topeng yang kalian perankan lumayan cantik. Pemerannya saudara kami sendiri, kalian bersembunyi dibalik kata “peduli dan membantu”. Naskah drama pahlawan berkedok “kejayaan keyakinan”, dan “jualan tiket surga” kalian umbar, tetapi penghinaan dan penistaan terhadap saudara senegeri kalian umumkan dimuka umum. Lalu kemana tauladan, kebaikan, dan kebijaksanaan yang tersurat dan tersirat dalam Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa?, Apakah sebatas ini pemahaman penyelenggara negara tentang makna berketuhanan?, Lalu kapan bisa terwujud persatuan, jika rasa adil yang beradab itu “jauh panggang dari api”?, Mampukah kita mencapai “keadilan sosial” sebagai tujuan ahir negeri ini jika yang bertugas mengemban amanah permusyawaratan justru saling iri dan berpesta pora dalam kelompok-kelompok kepentingannya?... sungguh hikmah kebijaksanaan kian jauh terasa.

Memandang diri itu harus utuh...melihat orang lain, dan bahkan menilai sesuatu pun harus utuh, “pesen guru silat Sontoloyo satu masa ketika bersama teman-temannya mengikuti satu proses wejangan sambil direndam semalaman ditengah kali”...memori masa remaja tiba-tiba menyeruak. Ketika ada sesorang mengajak dan mengajarkan kalian melihat sesuatu dengan ketidak-utuhan, maka ada dua kemungkinannya, ujar sang guru; Pertama; Orang

tersebut belum paham akan apa yang dia pandang, dan yang Kedua; Orang tersebut secara sengaja memberikan pandangan yang tidak utuh, karena atas dasar tujuan tertentu, “maka berhati-hatilah!”, tegas sang guru.

Sontoloyo teringat obrolan di-warteg beberapa hari lalu...dari sebrang meja dia memperhatikan seseorang yang lebih muda darinya dengan semangat tinggi menjabarkan nilai-nilai luhur Pancasila kepada teman-temannya, yang sesekali diselingi gelak tawa...”Pancasila itu mengijinkan orang untuk atheis”, kata orang itu membuat Sontoloyo sedikit terkejut, dan sempat berpikir “jangan-jangan orang ini anggota PKI?”, tetapi ia segera sadar karena pandangannya atas orang tersebut belum utuh. Orang itu melanjutkan, “Tentu bukan sila pertama yang memperbolehkan, tetapi sila ke-dua dimana ada kata kemanusiaan, adil dan beradab”... Sontoloyo segera meminum teh hangatnya, dia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Sementara orang tersebut dan teman- temannya lanjut asik berdiskusi. Sontoloyo membatin “tau apa mereka ini, sementara Pancasila itu mereka bahas dengan pola tafsir yang bengkok, ya jelas akan melahirkan sesuatu yang bengkok pula”.

Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, semisal batang tubuh manusia. Jika kepala, kaki, dan tangan bisa bergerak sendiri, maka akan menjadi lucu dan berbahayalah manusia itu. Namun karena dia utuh-lah, maka manusia itu pun menjadi semulya-mulya ciptaan, lalu Pancasila?

Antara sila pertama sampai sila terakhir, Pancasila itu tidak bisa dipisahkan, termasuk cara kita menafsirkannya, maka jika ada yang menafsirkan Pancasila dengan cara yang jauh dari pakem keutuhan, bisa disimpulkan bahwa orang tersebut belum paham Pancasila, dan

kemungkinan mempunyai kepentingan terselubung. Jika adil dan beradab itu tidak ada kaitannya dengan kesalehan, karena adil dan beradab itu ranahnya humanisme, maka sesungguhnya humanisme dalam beragama itu wajib dibuktikan dalam bentuk prilaku kesalehan sosial (hablumminannas). Pernyataan seperti ini ketika disampaikan dalam satu forum, dan anggota forumnya “belum berakal” niscaya kekacauan haluanlah yang akan terjadi. Lahir satu generasi “sok berfilsafat” yang belum mampu memandang dan berprilaku utuh...

“Apakah penyelenggara negara ini tidak pintar?”, tanya Sontoloyo dalam hatinya...Justru karena mereka pintar-lah makanya duduk sebagai penyelenggara negara...”mereka itu pintar atau berpendidikan?”...mungkin mereka baru sampai pada tahapan pintar, tetapi belum berpendidikan. Sederhananya begini, jika dia pintar maka nalarnya sebatas SOP (Standar Operasional Prosedur), Juklak dan Juknis (Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan). Bagaimana dengan prilaku orang yang berpendidikan?. Orang berpendidikan itu mampu menempatkan segala sesuatu sesuai dengan adil bijaksana.

Adil itu menempatkan sesuatu sesuai porsinya, bukan kesetaraan seperti yang dipahami Sontoloyo selama ini. Contoh: seorang ayah punya dua orang anak, maka dalam pemberian uang jajan dia harus mampu bersikap adil. Satu orang anaknya sudah duduk dibangku sekolah dasar (SD), sementara yang satunya masih di Taman Kanak-kanak (TK). Jika si ayah bersikap setara, maka kedua anaknya akan diberikan uang jajan masing-masing Rp. 5.000,-, tetapi karena tuntutannya adalah harus adil, maka anaknya yang TK belum dikasi uang jajan, karena disekolahnya sudah ada program

pelayanan asupan makanan tambahan, atau sederhanaya anaknya yang di TK belum perlu dan belum paham dengan mata uang seperti yang diberikan kepada anaknya yang sudah SD...”Sontoloyo nyengir...bener juga ya!”...

Bijaksana itu kemampuan untuk menempatkan sesuatu sesuai dengan kelayakannya. Misalnya; seorang anak yang sepanjang hidupnya sampai menjelang usia dewasa dipelihara oleh Ayah dan Ibunya, layakkah untuk melawan/durhaka?...pun dalam hal bernegara...layakkah aparatur negara tidak hormat terhadap rakyatnya?, sementara mereka itu hidup atas pembayaran pajak, dan ihtiar kerja para rakyat.

Sontoloyo diam...dadanya tampak berdegup lebih cepat, “kenapa semua ini singgah seenaknya dalam kepala-ku ?”...belum sempat terjawab, satu memori melintas cepat, kali ini memori ketika ia ke kota untuk membeli beberapa obat untuk bebek-bebeknya. Satu selebaran dari halus tangan pemuda tampan membawa bendera, dibelakangnya teriakan ramai teman-temannya menyertai...


Baca juga :

Rate This Article

Thanks for reading: KULIKAN LOGIKA SONTOLOYO : TENTANG NEGERI YANG DAMAI, Sorry, my English is bad:)

About the Author

Aras Atas

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.
// //