Follow Aras Atas on Facebook Contact Us Open!
Join our telegram Contact Us Join Now!

Aras Atas | Anak-Anak Negeri

Novel Anak-Anak Negeri

ANAK-ANAK NEGERI

Novel Anak-Anak Negeri Tentang Kepemudaan

Perjumpaan

Surabaya, 2006 M. Waktu Penerimaan Mahasiswa Baru, Ternyata kampus-kampus Negeri masih menjadi pilihan favorit bagi anak-anak negeri yang melanjutkan jenjang pendidikanya ke level lebih tinggi. Mungkin ini salah satu cara bagi mereka mencintai produk dalam negeri. Sekalipun sistem dan perangkat kerjanya menyontek perkembangan kampus-kampus di luar negeri, kampus negeri tetap dinilai mewakili wujud nasionalisme mereka. Entah bagaimana cara merasionalkannya bukan perkara penting, ini soal selera saja, bagi mereka kampus negeri milik bangsa ini. Apa mungkin karena ada kata ‘negeri’ sehingga mereka berpikir demikian?. Kampus swasta baik milik pribadi atau berkembang karena dikelola secara kelompok (Yayasan) tidak juga sepi peminat lantaran ada cara berpikir masuk kampus negeri berarti menggambarkan cinta produk sendiri. kampus-kampus swasta tetap punya pamor ditengah-tengah mentalitas “Anak Negeri” yang masih dicarikan rasionalitasnya itu. Karena kita sedang bergulat dengan selera zaman yang tak mau pudar, tak mau kalah dari riak perubahan global, semacam ada ego bawaan dari masyarakat kita. 

Aktivitas di kota Pahlawan diawal penerimaan mahasiswa baru nampak padat, bisnis kos-kosan menjadi yang paling laris, perekonomian berkembang terutama bisnis kulinernya dari harga ngepas sampai harganya ngampas lakunya merata, mungkinkah ini satu sisi kemeretaan ekonomi itu? Wallahualam. Perputaran uang menjadi lebih capat, mungkin juga di daerah lain yang memilik kampus-kampus negeri atau memiliki pergurun tinggi mengalami peningkatan taraf sosial juga?. Konon critranya, daerah mana pun dibelahan Nusantara ini yang memiliki perguruan tinggi (Negerin maupun Swasta), akan mengalami peningkatan, baik itu peningkatan ekonomi atau kesiapan SDM setempat menyambut urbanisasi penduduk yang silih berganti.  Tapi Surabaya tetap Surabaya, ramai dengan para pendatang tidak cuma para mahasiswa tapi orang yang datang mengadu nasib di kota ini tidak kalah ramainya, ini soal sejarah, tuah dari kota ini menggaung dalam catatan sejarah, nasib negeri ini pernah kita mulai di sini.

Kampus-kampus negeri yang ada di Surabaya telah menerima banyak mahasiswa baru, sekaligus penghuni baru kota ini. Entah, mereka ke depan akan terus menetap meneruskan karir di kota ini atau memilih pulang membangun daerah masing-masing dengan ilmu yang mereka bawa dari Surabaya. Itu soal pilihan saja.

Tidak jauh dari kampus itu, terdapat satu warung pinggir jalan yang ramai dikunjungi oleh para mahasiswa selepas atau sebelum memulai aktivitas perkuliahan. Warung ini menjadi tempat para mahasiswa membuang lelah selain kos-kossan mereka dan yang tidak kalah penting warung ini merupakan tempat yang asyik bagi mereka untuk berkumpul membangun ide-ide, kajian-kajian keilmuan, berkomunikasi membangun pertemanan. Dan tentu saja menu utama yang terpampang dipapan menu bersinggungan dengan nisib perut para mahasiswa. Bahkan berbagai isu nasional kerap dibedah di sini. “Kantin Bersama” begitu sebagian dari mereka menyebut warung favoritnya, atau "Warung Mbah Mejan" umumnya mereka sebut. Warungnya ramah pada pengunjung, pelanggan yang rata-rata mahasiswa menilai warung ini tempat berteduh yang pas bahkan warung ini seakan siap menampung semua beban para mahasiswa yang lelah dan jenuh mengail-ngail ilmu di ruang-ruang kuliah mereka, para mahasiswa siap menunggu jam mata kuliah berikut di warung ketimbang di kos mereka yang bisu dan pengab.

……

“Mbah, kopi hitamnya satu.” terlihat laki-laki paruh baya memesan kopi pada pemilik warung.

“Loh udah pulang Sand, tumben cepat…” Tanya Mbah Mejan Si pemilik warung.

"Yaa.. sedang tidak ingin berlama-lama di kantor.,,,,," Jawab pak Sand.

“Owh,, santai-santai saja dulu disini.!! Sambil lihat mahasiswa-mahasiswa baru yang lagi sibuk-sibuk mendaftar, siapa tahu ada jodoh lagi..”,,,, sahut mbah Mejan. Sepertinya Mbah sedang menggoda Pak Sand.

“Ahh mbah bisa saja,, ngak niat nambah,,,” jelas pak Sand menepis godaan mbah Mejan.

“Lo, yang suruh nambah siapa Sand, setidaknya satu, dua atau tiga orang bisa kamu didik lagi,, kamu cerahkan cara pandang generasi-generasi baru ini,,. Rasa traumamu jangan menghambat caramu berjuang memperbaiki bangsa ini… Sering-sering saja duduk di sini jam-jam segini, anak-anak baru itu pasti banyak yang mampir makan.”,,,,,, Jelas mbah, sambil melihat ke arah Pak Sand yang nampak cuek saja dengan sarannya.,,..,, “Kopinya Sand..”’ lanjut mbah sembari menyodorkan segelas kopi hitam pesanan pak Sand.

“Makasih mbah,… yaaah lihat saja nanti gimana kelanjutannya.” Lanjut pak Sand.

“Ow iya, Kris titip salam buat mbah,, kemarin saya mampir ke Lapas””,,,.. Tambahnya..

“Waalaikumsalam,,, gimana kabarnya (Kristian), sehat yoo?? Aku belum sempat jenguk, nggak ada yang gantiin di warung… Mudahan bulan depan bisa jenguk,, kasian dia.. titip salam balik nanti kalau menjenguk lagi, mbah juga mau titipkan makanan kesukaanya di warung ini.” kata Mbah sambil menaruh pisang gorang yang masih panas depan Pak Sand yang baru ia goreng.

“Sambilan pisangnya Sand”””, terang mbah Mejan.

“”Hati-hati masih panas sekali””, terangnya lagi.

Pak Sand hanya angguk-angguk sambil serius membaca buku yang sedari tadi iya pegang.

Tak lama mereka berbincang, warung Mbah mulai dipenuhi para mahasiswa yang baru saja keluar dari aktivitas kampusnya. Memang warung mbah Mejan menjadi favorit bagi para mahasiswa, selain selera harga yang ngepas dengan ukuran saku mereka, tempatnya juga terjangkau dengan cepat oleh para mahasiswa yang tidak cukup memiliki kemewahan waktu berjalan mencari tempat-tempat makan yang lain. “Kantin Bersama” itu lah julukan para mahasiswa pada warung sederhana milik pria yang umurnya tidak muda lagi ini. Sekali pun mbah Mejan memang sudah berumur 60 tahun lebih, tapi semangatnya selalu muda, betapa tidak, separuh umurnya ia habiskan berinteraksi dan menyaksikan anak-anak muda yang penuh semangat yang datang di Kotanya dari berbagai daerah. Warung ini semakin lengkap dengan suasana Musholah berukuran sedang yang didirikan oleh Kris dua tahun lalu. Para mahasiswa juga selalu merasa penuh merdeka jika datang di warung ini, tempat duduknya luas, di dalam dan di luar kantin bisa menampung sebanyak mungkin mahasiswa-mahasiswa yang memang kantongnya ngepas.

”Pak,, air putih satu.. berapa?” Tanya pemuda yang nampaknya agak kelelahan, wajahnya keringat, merah seperti alergi sinar mata hari, mukanya pucat pasih.

“Yang besar lima ribu, yang sedang tiga ribu,”” terang Mbah.

“Yang sedang saja pak…”,,, sahut anak itu.

“”Mahasiswa baru ya dek?,,,” Tanya Mbah seakan sedang mengejek umur si anak. Melihat perbedaan umur mereka tapi mbah memang terbiasa memanggil pelanggan-pelanggan mahasiswanya dengan sebutan ‘Dek’..

“”Iya, pak…”” sahut anak itu singkat, sembari tersenyum mendengar kakek-kakek memanggilnya ‘dek’

“Dari mana?” Tanya mbah, mulai membuka keakraban.

“Habis dari Kampus pak.”” Jawabnya lagi..

“Maksud saya, asalmu dari mana? Logatmu bukan orang jawa.” Terang mbah memperjelas arah pertanyaannya.

“”Ow, hehehe. Saya dari Bandung Pak,” jawabnya pemuda itu lagi. Sambil menarik sebuah bangku,, Ia sudah mulai cair dengan suasan baru yang ia temukan.

“Ooowh, logatmu nggak kelihatan Sundanya!!!”” Mbah semakin penasaran.

“Iya pak, saya sebenarnya lama di Jakarta, saya tamatkan SMA di sana.” Terang ia, mulai memperpanjang kalimatnya.

“Kuliah ambil jurusan apa?” Tanya Mbah lagi…

“”Ilmu Sejarah Pak…” terang anak itu.

“Ow iya, siapa namamu. Lupa, dari tadi kita ngobrol lupa Tanya nama.”” Kata Mbah sambil tertawa..

"Iya hehe…" responnya sambil menahan malu. “Saya Damar.” Lanjutnya.

“Ooowh, Dek Damar. Saya Merdi Sumarjan,, anak-anak kampus biasanya panggil ‘Mbah Mejan’.. Tapi saya ini tidak merasa tua, melawan usia. Mereka panggil “Mbah” yaa saya ikhlaskan saja,, ha ha ha haa.” Terang Mbah berkelakar.

Damar pun ikut tertawa sambil menggeser kursi duduknya agak ke pinggir karena melihat laki-laki paruh baya mengambil posisi duduk disebelahnya. Pria itu tidak lain adalah Pak Sand yang baru saja balik dari Musholah sebelah warung.

Sand, Ini Damar dari Bandung. Baru mendaftar jadi Mahasiswa, jurusan sejarah. Damar ini Pak Sand, Wartawan Top di Surabaya ini, Selain jadi wartawan beliau juga pintar bisnis, punya kos-kosan untuk disewa. Rumahnya di depan sana, itu di jalan yang lurus. (Sambil menunjuk sebuah jalan tidak jauh dari arah warungnya)

Damar yang masih nampak segan, hanya menggerak kepala ke bawah diiringi gerak tubuhnya tanda dia memberi hormat. Damar sejujurnya bingung sejak tadi Mbah Mejan yang saja ia kenal sudah menjelaskan banyak, baru saja tentang melawan usia, sekarang tentang orang asing.

’Owh Jurusan Sejarah ya…” kata Pak Sand merespon.

"Dia ini, Mahasiswa baru yang pertama mbah ajak ngobrol Sand, mungkin sudah takdirnya.. Jelas mbah.,,,,,  “Kan sudah ku bilang tadi, jodohmu pasti ada dari sekian banyak mahasiswa yang datang ke sini.” Tambah mbah mejan menggoda Pak Sand, sembari juga mengacaukan pikiran Damar yang nampak bingung dengan kata “Jodoh” yang keluar dari mulut orang yang baru saja ia kenal, tapi Ia hanya diam saja. Pak Sand senyum saja mendengar mbah Mejan.

‘’Mbah saya langsung pamit, sudah siang mau jemput Istri, Insya Allah nanti sore ba’da Ashar saya mampir lagi. Damar, saya tinggal ya, kapan-kapan kita ngobrol lagi, barang kali ada ilmu yang bisa kita gali, khususnya tentang sejarah. Kalau kita memang berjodoh, seperi kata Mbah”. Jelas pak Sand yang nampak tergesah, karena harus cepat menjemput Istrinya.

Iya pak,, jawab Damar., “Pak apa kos-koSandya masih ada yang kosong” Tanya Damar.

"Biar Mbah saja yang jelaskan.. Ayo Mbah pamit dulu,., sambil menaruh uang seratus ribu di bawah gelas. Pak Sand lansung menuju motor yang ia parkir depan musholah.

“Kembaliannya Sand,??”””, tanya Mbah setengah berteriak.

“Simpan saja mbah.. kasih saja Damar kopi sisanya disimpan saja”. Jawab Pak Sand sambil berlalu.

Mbah Mejan memandangnya sampai pak Sand benar-benar menghilang dari pandanannya. Begitu juga Damar, ia merasa ada yang tumbuh dalam benaknya..

“Soal kos yang ditanya tadi, Sand sudah tidak menerima mahasiswa sebagai penghuninya.. banyak pengalaman yang tidak ia suka,, beberapa tahun pernah ia sewakan kos-kosan untuk para mahasiswa khususnya mahasiswa baru seperti nak Damar ini. Zaman sudah berubah, pergaulan sudah bukan milik orang tua-tua zaman dulu, lama-lama pergaulan generasi ini tidak terkontrol,  mahasiswa-mahasiswa itu sering menampung lawan jenisnya kadang berhari-hari. Itu yang membuat Sand tidak lagi menerima mahasiswa sebagai penghuni kosnya. Sekarang hanya orang-orang yang sudah berkeluarga yang tinggal disana. Mungkin ini pengecualian buak nak Damar, jangan tersinggung ya, tidak semua generasi baru budi pekertinya begitu." Terang mbah panjang lebar.

Pak Sand memang punya semangat mendidik orang. Gaya hidupnya yang sederhana banyak disukai oleh orang-orang termasuk dari kalangan mahasiswa. Dia mencoba mengulang cerita, kos-kos yang ia bangun akan mendulang cerita yang sama dengan HOS Tjokroaminoto yang pernah menerima kos-kosan di rumahnya hingga kemudian dididik sampai akhirnya sukses sebagai pahlawan yang memerdekakan bangsa ini dari penjajah.

Ukiran sejarah memang rumit, Pak Sand bukanlah HOS Tjokroaminoto, zaman juga sudah berubah, kemerdekaan juga tidak perlu mati-matian mereka perjuangkan, keadilan tinggal mereka petik dari pohonnya. Jiwa zaman tidak lagi sama, ini yang membuat Pak Sand mengubah keputusandya. Tapi dia tetap optimis dalam hidupnya bahwa generasi masih ada yang terbaik, jika bukan karena perjuangan dan usaha, Tuhan masih menyisihkan yang terbaik untuk masa depan bangsa ini. itu keyakinan Pak Sand yang paham dengan garis sejarah.

“”Dia, orang baik, penuh semangat, hidupnya selalu optimis… sosok yang selalu dikenang oleh orang-orang berinteraksi sama dia”” Jelas mbah, seperti sedang ingin menjelaskan banyak hal pada Damar, tentang sosok Pak Sand.

“Ayo dimakan pisang gorengnya mumpung masih hangat, kopinya tunggu ya,, masih masak air””... Jelas Mbah.

“”Iya Mbah…” jawab Damar.

“Pak, kopi satu.” Satu anak muda ikut memesan kopi dan duduk samping Damar.

“Tunggu sebentar ya, masih masak air.” Terang Mbah sambil melempar senyum

“”Mahasiswa baru juga ya dek..??” Tanya Mbah..

“Iya pak…”” jawab anak muda itu, dengan wajah heran.

“Tuh, sama dengan kawanmu sebelah…”” terang Mbah

“””””Ow iya,”””,, sambil menoleh ke arah Damar. “”Yanto..” kata anak muda itu.

“”Damar,”” jelasnya membalas ajakan Yanto berkenalan.

“”Jurusan Apa?”

“Saya ambil ilmu sejarah mas.. sahut Damar.. kalau mas jurusan apa?” Tanya Damar membalas.

“Saya Ilmu Menejemen.” Terang Yanto. Sudah selesai mendaftar..? Tanya Yanto menyambung percakapan.

“Sudah selesai” Jawab Damar sambil menggigit pisang yang ia tawarkan juga pada Yanto.

"Ow iyo wess, jadi bisa santai-santai dulu." Imbuh Yanto.

“Monggo-monggo… kopinya udah jadi”,,,,,, terang mbah sambil menyodorkan dua gelas kopi.

“Kopinya sudah dibayar. Kalian ngobrol-ngobrol dulu, mbah buatkan dulu pesanan yang lain”

"Iya mbah,,," jawab Damar. "Maksih pak.." sambung Yanto yang belum terbiasa menyebut Mbah.

Damar dan Yanto terus berbincang, saling mengenal satu sama lain, kopi buatan mbah menjadi nilai tambah keakraban keduanya, meski bagi Damar ini adalah hari pertama ia mencicipi bagaimana rasanya kopi, meski belum tahu bagaimana nikmatnya kopi sesungguhnya. Tukaran nomor HP, menambah tali keakraban mereka berdua. Kedua pemuda ini kemudian menjadi interaksi, mereka juga membicarakan tentang organisasi, atau bahkan berencana mendirikan perkumpulan mahasiswa nantinya. Karena kopi mereka sudah habis mereka berpisah untuk menanti hari esok..................


******

Cerita Selanjutnya 

Tentang Novel

Aras Aras | Anak-anak Negeri adalah novel yang menceritakan Tentang Kepemudaan, Novel ini akan dimuat dalam Blog Aras Atas secara berkala.

Novel ini menceritakan sekelompok pemuda yang sedang menempuh pendidikan Strata 1 di Surabaya. Mereka datang dari berbagai daerah. Tokoh dalam Novel di antaranya Damar, Yanto, Imad, Tomy, Dani, Amar dan Amir (Si Kembar). Mereka semua adalah pemuda yang sedang haus akan Ilmu Pengetahuan dan Penempaan Diri sebagai Pemuda. Mereka banyak mendiskusikan realitas kehidupan, sebagian dari yang mereka diskusi dalam Novel adalah adaptasi dari realitas yang sesungguhnya, namun dikemas menjadi dialog novel. Lanjut Baca

Rate This Article

Thanks for reading: Aras Atas | Anak-Anak Negeri, Sorry, my English is bad:)

About the Author

Aras Atas

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.
// //