ANAK-ANAK NEGERI
Perjumpaan
Surabaya,
2006 M. Waktu Penerimaan Mahasiswa Baru, Ternyata kampus-kampus Negeri masih
menjadi pilihan favorit bagi anak-anak negeri yang melanjutkan jenjang
pendidikanya ke level lebih tinggi. Mungkin ini salah satu cara bagi mereka
mencintai produk dalam negeri. Sekalipun sistem dan perangkat kerjanya menyontek
perkembangan kampus-kampus di luar negeri, kampus negeri tetap dinilai mewakili
wujud nasionalisme mereka. Entah bagaimana cara merasionalkannya bukan perkara
penting, ini soal selera saja, bagi mereka kampus negeri milik bangsa ini. Apa
mungkin karena ada kata ‘negeri’ sehingga mereka berpikir demikian?. Kampus
swasta baik milik pribadi atau berkembang karena dikelola secara kelompok
(Yayasan) tidak juga sepi peminat lantaran ada cara berpikir masuk kampus
negeri berarti menggambarkan cinta produk sendiri. kampus-kampus swasta tetap
punya pamor ditengah-tengah mentalitas “Anak Negeri” yang masih dicarikan
rasionalitasnya itu. Karena kita sedang bergulat dengan selera zaman yang tak
mau pudar, tak mau kalah dari riak perubahan global, semacam ada ego bawaan
dari masyarakat kita.
Aktivitas di kota Pahlawan diawal penerimaan
mahasiswa baru nampak padat, bisnis kos-kosan menjadi yang paling laris,
perekonomian berkembang terutama bisnis kulinernya dari harga ngepas sampai
harganya ngampas lakunya merata, mungkinkah ini satu sisi kemeretaan ekonomi
itu? Wallahualam. Perputaran uang menjadi lebih capat, mungkin juga di
daerah lain yang memilik kampus-kampus negeri atau memiliki pergurun tinggi
mengalami peningkatan taraf sosial juga?. Konon critranya, daerah mana pun
dibelahan Nusantara ini yang memiliki perguruan tinggi (Negerin maupun Swasta),
akan mengalami peningkatan, baik itu peningkatan ekonomi atau kesiapan SDM
setempat menyambut urbanisasi penduduk yang silih berganti. Tapi Surabaya tetap Surabaya, ramai dengan
para pendatang tidak cuma para mahasiswa tapi orang yang datang mengadu nasib
di kota ini tidak kalah ramainya, ini soal sejarah, tuah dari kota ini
menggaung dalam catatan sejarah, nasib negeri ini pernah kita mulai di sini.
Kampus-kampus negeri yang ada di Surabaya telah
menerima banyak mahasiswa baru, sekaligus penghuni baru kota ini. Entah, mereka ke depan akan terus menetap meneruskan
karir di kota ini atau memilih pulang membangun daerah masing-masing dengan
ilmu yang mereka bawa dari Surabaya. Itu soal pilihan saja.
Tidak jauh dari kampus itu, terdapat satu warung
pinggir jalan yang ramai dikunjungi oleh para mahasiswa selepas atau sebelum
memulai aktivitas perkuliahan. Warung ini menjadi tempat para mahasiswa membuang
lelah selain kos-kossan mereka dan yang tidak kalah penting warung ini merupakan
tempat yang asyik bagi mereka untuk berkumpul membangun ide-ide, kajian-kajian
keilmuan, berkomunikasi membangun pertemanan. Dan tentu saja menu utama yang
terpampang dipapan menu bersinggungan dengan nisib perut para mahasiswa. Bahkan
berbagai isu nasional kerap dibedah di sini. “Kantin Bersama” begitu sebagian
dari mereka menyebut warung favoritnya, atau "Warung Mbah Mejan"
umumnya mereka sebut. Warungnya ramah pada pengunjung, pelanggan yang rata-rata
mahasiswa menilai warung ini tempat berteduh yang pas bahkan warung ini seakan
siap menampung semua beban para mahasiswa yang lelah dan jenuh mengail-ngail
ilmu di ruang-ruang kuliah mereka, para mahasiswa siap menunggu jam mata kuliah
berikut di warung ketimbang di kos mereka yang bisu dan pengab.
……
“Mbah, kopi hitamnya satu.” terlihat laki-laki
paruh baya memesan kopi pada pemilik warung.
“Loh udah pulang Sand, tumben cepat…” Tanya Mbah
Mejan Si pemilik warung.
"Yaa.. sedang tidak ingin berlama-lama
di kantor.,,,,," Jawab pak Sand.
“Owh,, santai-santai saja dulu disini.!! Sambil
lihat mahasiswa-mahasiswa baru yang lagi sibuk-sibuk mendaftar, siapa tahu ada jodoh lagi..”,,,, sahut mbah Mejan. Sepertinya Mbah sedang menggoda Pak
Sand.
“Ahh mbah bisa saja,, ngak niat nambah,,,” jelas
pak Sand menepis godaan mbah Mejan.
“Lo, yang suruh nambah siapa Sand, setidaknya
satu, dua atau tiga orang bisa kamu didik lagi,, kamu cerahkan cara pandang
generasi-generasi baru ini,,. Rasa traumamu jangan menghambat caramu berjuang
memperbaiki bangsa ini… Sering-sering saja duduk di sini jam-jam segini,
anak-anak baru itu pasti banyak yang mampir makan.”,,,,,, Jelas mbah, sambil
melihat ke arah Pak Sand yang nampak cuek saja dengan sarannya.,,..,, “Kopinya Sand..”’
lanjut mbah sembari menyodorkan segelas kopi hitam pesanan pak Sand.
“Makasih mbah,… yaaah lihat saja nanti gimana
kelanjutannya.” Lanjut pak Sand.
“Ow iya, Kris titip salam buat mbah,, kemarin
saya mampir ke Lapas””,,,.. Tambahnya..
“Waalaikumsalam,,, gimana kabarnya (Kristian),
sehat yoo?? Aku belum sempat jenguk, nggak ada yang gantiin di warung… Mudahan
bulan depan bisa jenguk,, kasian dia.. titip salam balik nanti kalau menjenguk
lagi, mbah juga mau titipkan makanan kesukaanya di warung ini.” kata Mbah
sambil menaruh pisang gorang yang masih panas depan Pak Sand yang baru ia
goreng.
“Sambilan pisangnya Sand”””, terang mbah Mejan.
“”Hati-hati masih panas sekali””, terangnya lagi.
Pak Sand hanya angguk-angguk sambil serius
membaca buku yang sedari tadi iya pegang.
Tak lama mereka berbincang, warung Mbah mulai
dipenuhi para mahasiswa yang baru saja keluar dari aktivitas kampusnya. Memang
warung mbah Mejan menjadi favorit bagi para mahasiswa, selain selera harga yang
ngepas dengan ukuran saku mereka, tempatnya juga terjangkau dengan cepat oleh
para mahasiswa yang tidak cukup memiliki kemewahan waktu berjalan mencari
tempat-tempat makan yang lain. “Kantin Bersama” itu lah julukan para mahasiswa
pada warung sederhana milik pria yang umurnya tidak muda lagi ini. Sekali pun
mbah Mejan memang sudah berumur 60 tahun lebih, tapi semangatnya selalu muda,
betapa tidak, separuh umurnya ia habiskan berinteraksi dan menyaksikan
anak-anak muda yang penuh semangat yang datang di Kotanya dari berbagai daerah.
Warung ini semakin lengkap dengan suasana Musholah berukuran sedang yang
didirikan oleh Kris dua tahun lalu. Para mahasiswa juga selalu merasa penuh
merdeka jika datang di warung ini, tempat duduknya luas, di dalam dan di luar
kantin bisa menampung sebanyak mungkin mahasiswa-mahasiswa yang memang
kantongnya ngepas.
”Pak,, air putih satu.. berapa?” Tanya pemuda
yang nampaknya agak kelelahan, wajahnya keringat, merah seperti alergi sinar mata hari,
mukanya pucat pasih.
“Yang besar lima ribu, yang sedang tiga ribu,””
terang Mbah.
“Yang sedang saja pak…”,,, sahut anak itu.
“”Mahasiswa baru ya dek?,,,” Tanya Mbah seakan
sedang mengejek umur si anak. Melihat perbedaan umur mereka tapi mbah memang terbiasa
memanggil pelanggan-pelanggan mahasiswanya dengan sebutan ‘Dek’..
“”Iya, pak…”” sahut anak itu singkat, sembari
tersenyum mendengar kakek-kakek memanggilnya ‘dek’
“Dari mana?” Tanya mbah, mulai membuka keakraban.
“Habis dari Kampus pak.”” Jawabnya lagi..
“Maksud saya, asalmu dari mana? Logatmu bukan
orang jawa.” Terang mbah memperjelas arah pertanyaannya.
“”Ow, hehehe. Saya dari Bandung Pak,” jawabnya
pemuda itu lagi. Sambil menarik sebuah bangku,, Ia sudah mulai cair dengan
suasan baru yang ia temukan.
“Ooowh, logatmu nggak kelihatan Sundanya!!!””
Mbah semakin penasaran.
“Iya pak, saya sebenarnya lama di Jakarta, saya
tamatkan SMA di sana.” Terang ia, mulai memperpanjang kalimatnya.
“Kuliah ambil jurusan apa?” Tanya Mbah lagi…
“”Ilmu Sejarah Pak…” terang anak itu.
“Ow iya, siapa namamu. Lupa, dari tadi kita
ngobrol lupa Tanya nama.”” Kata Mbah sambil tertawa..
"Iya hehe…" responnya sambil menahan
malu. “Saya Damar.” Lanjutnya.
“Ooowh, Dek Damar. Saya Merdi Sumarjan,,
anak-anak kampus biasanya panggil ‘Mbah Mejan’.. Tapi saya ini tidak merasa tua, melawan usia. Mereka panggil “Mbah” yaa saya
ikhlaskan saja,, ha ha ha haa.” Terang Mbah berkelakar.
Damar pun ikut tertawa sambil menggeser kursi
duduknya agak ke pinggir karena melihat laki-laki paruh baya mengambil posisi
duduk disebelahnya. Pria itu tidak lain adalah Pak Sand yang baru saja balik
dari Musholah sebelah warung.
Sand, Ini Damar dari Bandung. Baru mendaftar jadi
Mahasiswa, jurusan sejarah. Damar ini Pak Sand, Wartawan Top di Surabaya ini, Selain jadi wartawan beliau juga pintar bisnis, punya
kos-kosan untuk disewa. Rumahnya di depan sana, itu di jalan yang lurus. (Sambil
menunjuk sebuah jalan tidak jauh dari arah warungnya)
Damar yang masih nampak segan, hanya menggerak
kepala ke bawah diiringi gerak tubuhnya tanda dia memberi hormat. Damar sejujurnya bingung sejak tadi Mbah Mejan yang saja ia kenal sudah menjelaskan banyak, baru saja tentang melawan usia, sekarang tentang orang asing.
’Owh Jurusan Sejarah ya…” kata Pak Sand merespon.
"Dia ini, Mahasiswa baru yang pertama mbah
ajak ngobrol Sand, mungkin sudah takdirnya.. Jelas mbah.,,,,, “Kan sudah ku bilang tadi, jodohmu pasti ada
dari sekian banyak mahasiswa yang datang ke sini.” Tambah mbah mejan menggoda
Pak Sand, sembari juga mengacaukan pikiran Damar yang nampak bingung dengan
kata “Jodoh” yang keluar dari mulut orang yang baru saja ia kenal, tapi Ia
hanya diam saja. Pak Sand senyum saja mendengar mbah Mejan.
‘’Mbah saya langsung pamit, sudah siang mau
jemput Istri, Insya Allah nanti sore ba’da Ashar saya mampir lagi. Damar, saya
tinggal ya, kapan-kapan kita ngobrol lagi, barang kali ada ilmu yang bisa kita
gali, khususnya tentang sejarah. Kalau kita memang berjodoh, seperi kata Mbah”.
Jelas pak Sand yang nampak tergesah, karena harus cepat menjemput Istrinya.
Iya pak,, jawab Damar., “Pak apa kos-koSandya
masih ada yang kosong” Tanya Damar.
"Biar Mbah saja yang jelaskan.. Ayo Mbah
pamit dulu,., sambil menaruh uang seratus ribu di bawah gelas. Pak Sand lansung
menuju motor yang ia parkir depan musholah.
“Kembaliannya Sand,??”””, tanya Mbah setengah
berteriak.
“Simpan saja mbah.. kasih saja Damar kopi sisanya
disimpan saja”. Jawab Pak Sand sambil berlalu.
Mbah Mejan memandangnya sampai pak Sand
benar-benar menghilang dari pandanannya. Begitu juga Damar, ia merasa ada yang
tumbuh dalam benaknya..
“Soal kos yang ditanya tadi, Sand sudah tidak
menerima mahasiswa sebagai penghuninya.. banyak pengalaman yang tidak ia suka,,
beberapa tahun pernah ia sewakan kos-kosan untuk para mahasiswa khususnya
mahasiswa baru seperti nak Damar ini. Zaman sudah berubah, pergaulan sudah
bukan milik orang tua-tua zaman dulu, lama-lama pergaulan generasi ini tidak
terkontrol, mahasiswa-mahasiswa itu
sering menampung lawan jenisnya kadang berhari-hari. Itu yang membuat Sand
tidak lagi menerima mahasiswa sebagai penghuni kosnya. Sekarang hanya
orang-orang yang sudah berkeluarga yang tinggal disana. Mungkin ini
pengecualian buak nak Damar, jangan tersinggung ya, tidak semua generasi baru
budi pekertinya begitu." Terang mbah panjang lebar.
Pak Sand memang punya semangat mendidik orang. Gaya hidupnya yang sederhana banyak disukai oleh orang-orang termasuk dari
kalangan mahasiswa. Dia mencoba mengulang cerita, kos-kos yang ia bangun akan
mendulang cerita yang sama dengan HOS Tjokroaminoto yang pernah menerima
kos-kosan di rumahnya hingga kemudian dididik sampai akhirnya sukses sebagai
pahlawan yang memerdekakan bangsa ini dari penjajah.
Ukiran sejarah memang rumit, Pak Sand bukanlah
HOS Tjokroaminoto, zaman juga sudah berubah, kemerdekaan juga tidak perlu
mati-matian mereka perjuangkan, keadilan tinggal mereka petik dari pohonnya. Jiwa zaman tidak lagi sama, ini yang membuat Pak Sand mengubah keputusandya.
Tapi dia tetap optimis dalam hidupnya bahwa generasi masih ada yang terbaik,
jika bukan karena perjuangan dan usaha, Tuhan masih menyisihkan yang terbaik
untuk masa depan bangsa ini. itu keyakinan Pak Sand yang paham dengan garis
sejarah.
“”Dia, orang baik, penuh semangat, hidupnya
selalu optimis… sosok yang selalu dikenang oleh orang-orang berinteraksi sama dia””
Jelas mbah, seperti sedang ingin menjelaskan banyak hal pada Damar, tentang
sosok Pak Sand.
“Ayo dimakan pisang gorengnya mumpung masih
hangat, kopinya tunggu ya,, masih masak air””... Jelas Mbah.
“”Iya Mbah…” jawab Damar.
“Pak, kopi satu.” Satu anak muda ikut memesan
kopi dan duduk samping Damar.
“Tunggu sebentar ya, masih masak air.” Terang
Mbah sambil melempar senyum
“”Mahasiswa baru juga ya dek..??” Tanya Mbah..
“Iya pak…”” jawab anak muda itu, dengan wajah
heran.
“Tuh, sama dengan kawanmu sebelah…”” terang Mbah
“””””Ow iya,”””,, sambil menoleh ke arah Damar.
“”Yanto..” kata anak muda itu.
“”Damar,”” jelasnya membalas ajakan Yanto berkenalan.
“”Jurusan Apa?”
“Saya ambil ilmu sejarah mas.. sahut Damar..
kalau mas jurusan apa?” Tanya Damar membalas.
“Saya Ilmu Menejemen.” Terang Yanto. Sudah
selesai mendaftar..? Tanya Yanto menyambung percakapan.
“Sudah selesai” Jawab Damar sambil menggigit
pisang yang ia tawarkan juga pada Yanto.
"Ow iyo wess, jadi bisa santai-santai
dulu." Imbuh Yanto.
“Monggo-monggo… kopinya udah jadi”,,,,,, terang
mbah sambil menyodorkan dua gelas kopi.
“Kopinya sudah dibayar. Kalian ngobrol-ngobrol dulu,
mbah buatkan dulu pesanan yang lain”
"Iya mbah,,," jawab Damar. "Maksih
pak.." sambung Yanto yang belum terbiasa menyebut Mbah.
Damar dan Yanto terus berbincang, saling mengenal satu sama lain, kopi buatan mbah menjadi nilai tambah keakraban keduanya, meski bagi Damar ini adalah hari pertama ia mencicipi bagaimana rasanya kopi, meski belum tahu bagaimana nikmatnya kopi sesungguhnya. Tukaran nomor HP, menambah tali keakraban mereka berdua. Kedua pemuda ini kemudian menjadi interaksi, mereka juga membicarakan tentang organisasi, atau bahkan berencana mendirikan perkumpulan mahasiswa nantinya. Karena kopi mereka sudah habis mereka berpisah untuk menanti hari esok..................
******
Tentang Novel
Aras Aras | Anak-anak Negeri adalah novel yang menceritakan Tentang Kepemudaan, Novel ini akan dimuat dalam Blog Aras Atas secara berkala.
Novel ini menceritakan sekelompok pemuda yang sedang menempuh pendidikan Strata 1 di Surabaya. Mereka datang dari berbagai daerah. Tokoh dalam Novel di antaranya Damar, Yanto, Imad, Tomy, Dani, Amar dan Amir (Si Kembar). Mereka semua adalah pemuda yang sedang haus akan Ilmu Pengetahuan dan Penempaan Diri sebagai Pemuda. Mereka banyak mendiskusikan realitas kehidupan, sebagian dari yang mereka diskusi dalam Novel adalah adaptasi dari realitas yang sesungguhnya, namun dikemas menjadi dialog novel. Lanjut Baca
Rate This Article
Thanks for reading: Aras Atas | Anak-Anak Negeri, Sorry, my English is bad:)