Aras Atas | Anak-Anak Negeri
Konsekuensi Pilihan
Hari-hari Damar di Surabaya, dilalui tidak begitu wah di kampus negeri pilihannya, mungkin juga karena ini baru awal dari pilihan tempat pendidikannya. Tapi di balik itu, tetap ia jalani sebagai bentuk konsekuensi jalan hidupnya. Jauh dari kampung halaman itu pasti, belajar hidup mandiri, mengenal orang-orang baru ada cerita pembuka yang akan melapangkan pengalamannya. Mengenal banyak sisi-sisi kehidupan di kota yang berjuluk kota Pahlawan ini menjadi warna tambahan bagi Damar. Semakin akrab juga dia dengan “Kanti Bersama” (warung Mbah Mejan), dengan Mbah pemilik warung dia terus berkomunikasi. Di warung itu sudah tiga kali Damar berjumpa dengan Pak San, ada rasa kagum yang luar biasa dari Damar. Laki-laki paruh baya yang berwawasan yang luas, ia juga merasa cocok karena satu garis ilmu.
Hingga sampai bulan ketiga perkuliahannya, Warung
Mbah Mejan menjadi tempat yang paling sering dikunjungi oleh Damar, hampir
seimbang dengan mondar-mandirnya menuju kampus.
“Pagi Mbah,,” Sapa Damar.. kali ini ia datang
tidak sendiri, ia mengajak rekan satu kelasnya di jurusan.. pukul 06.30 mereka
sudah mampir ke Warung, rencananya, mencari sesuatu yang bisa mengganjal
perut.
“Ini teman jurusan saya Mbah..” tuturnya
memperkenalkan.
“Owh.. siapa namamu dek?” Tanya Mbah merespon
Damar.
“Hehehehe,, panggil saja Imad pak..” Imad
cenge-ngesan karena dipanggil adek,, Imad mengira sepertinya orang tua ini
sedang bercanda atau bahkan sedang mengejeknya yang lagi lesu karena waktu
masih pagi, ditambah belum sarapan.
“Panggil saya MBAH.. Mbah Mejan..” kata mbah
sambari tertawa.
“Owh,, iya Mbah…” sahut Imad sembari merundukan
badan memberi hormat pada orang tua.
Tak lama dari arah pintu masuk warung berjalan
pria paruh baya mendekat pada Damar. Iya... pria itu adalah Pak Sand, dengan
pakaian kemeja
santai. Damar yang melihatnya pun berdiri seperti menyambut
tamu agung, hingga pak Sand duduk di samping mereka. Imad turut dikenalkan juga oleh Damar pada Pak Sand.
"Ada kuliah pagi Le.?"
"Iya Pak…" sahut Damar penuh santun… Karisma Pak Sand memang buat siapapun tampak segan.
"Gimana kuliahnya, lancar? Sudah dapat ilmu sejarah apa saja dari dosen-dosennya?" Goda pak Sand..
Kedua-duanya tidak menjelaskan dengan pasti..
hanya cenge-ngesan saja. Pak Sand meraih korang yang ada disebelahnya, Kopi dan
pisang goreng pun disuguhi, menambah Koran bacaan pak Sand bernada-nada indah.
“Banyak-banyak baca Koran, biar tahu perkembangan” kata pak Sand pada mereka
berdua di sela-sela bacaanya sembari membuka halaman baru. Meski Pak Sand seorang redaktur
media cetak, Ia tetap membaca koran-korang di waktu tertentu. Damar turut
bertanya dalam tatapannya ‘Baca koran juga?', Pak memang seorang redaktur media cetak ternama di Surabaya, nampak aneh baginya jika orang yang setiap harinya bergumul dengan ulasan berita, tetap membaca koran juga.
Sayang pertanyaan ini tidak terjawab oleh Pak Sand, karena hanya ada dalam
benak Damar yang terurasi keluar lewat mimiknya.''''
‘Memang, sejak 8 Tahun Silam, Pasca Tragedi Reformasi Media Cetak masih
merajai jagat informasi. Tercatat dalam 9 bulan pertama pasca reformasi, lebih
dari 800 surat kabar dan majalah lahir pasca itu, ini merupakan angka ya fantastis.’
''''Usai meneguk kopi dan menikmati panasnya pisang
goreng buatan Mbah. Kata-kata yang tertulis dalam Koran kembali menjadi kata-kata
biasa. Nada-dana tadi menghilang, kembali berubah menjadi kata-kata yang penuh
kebohongan, dramatis, palsu, kata-kata yang hanya menggambarkan aksi-aksi
heroik aktor-aktor politik yang sudah membajak halaman demi halaman Koran.
Kata-kata dan kabar yang menjelaskan secara sembunyi-sembunyi di balik kata
yang tertulis bahwa semakin sakitnya negeri ini beserta para penduduknya yang
nampak damai padahal menjerit karena kekurangan lahan pekerjaan dan
pengangguran yang tidak kalah pentingnya untuk diberitakan.
Pak Sand pamit pada Mbah Mejan, Damar dan Imad
hendak menuju sekolah tempat ia mengajar. Ada yang ia tinggalkan untuk Damar.
Sebuah batu berukuran sekepal anak-anak, ia menyodorkan itu pada Damar. Ia
menyodorkan penuh makna, gesekan batu dan meja jelas terdengar oleh Damar dan
Imad. “ggggrrrreeeeeetttttt’’… Imad dan Damar nampak heran. “Pelajari ini”
katanya membuat Damar bingung, Imad juga ikut heran bin bingung. “Kamu juga
kalau mau”. Sambil menatap ke arah Imad. “Anggap saja batu ini seperti
Sejaran, meski bukan faktanya” lanjut Pak Sand sambil menatap Damar dan Imad
penuh makna. Tanpa sempat Damar bertanya apa-apa, Pak Sand sudah meninggalkan
mereka berdua.
Damar dan Imad saling tatap, masih bingung.. “Kenapa Batu, kenapa tidak buku saja”. Damar dan imad seperti kompak membangun pertanyaan dalam benak mereka. Dalam benak mereka buku lebih dekat dengan sejarah, karena lewat bukulah mereka bisa tahu sejarah-sejarah lampau. Belum juga selesai mereka larut dalam kebingungan, keduanya tersadar jam kuliah sudah mepet.. Imad dan Damar cepat bergegas..
“Mbah, bayarnya nanti, nanti pulang
kuliah mampir lagi”. Kata Damar sambil meraih batu dan dimasukkan ke dalam tasnya. Bergegas menuju kampus, mereka berdua melupakan batu tadi, mata kuliah yang mereka hadapi lebih
penting untuk di bahas sampai masuk ke dalam kelas.
Pertemuan Damar dan Pak Sand masih sebatas rasa penasaran. Pak Sand masih
dingin dan penuh misteri, bagian kecil dari cerita tentang Pak Sand, sudah damar
dengar dari Mbah Mejan. Ya, Mbah adalah penyebab kenapa Damar punya rasa
penasaran pada Pak Sand, dan hari ini tiba-tiba menyodorkan batu untuk di
pelajari, tanda adanya sesuatu dalam diri Pak Sand nongol lewat celah jendela
misteri Pak Sand.
Cerita Sebelumnya <<<<>>>> Cerita Selanjutnya
Tentang Novel
Aras Aras | Anak-anak Negeri adalah novel yang menceritakan Tentang Kepemudaan, Novel ini akan dimuat dalam Blog Aras Atas secara berkala.
Novel ini menceritakan sekelompok pemuda yang sedang menempuh pendidikan Strata 1 di Surabaya. Mereka datang dari berbagai daerah. Tokoh dalam Novel di antaranya Damar, Yanto, Imad, Tomy, Dani, Amar dan Amir (Si Kembar). Mereka semua adalah pemuda yang sedang haus akan Ilmu Pengetahuan dan Penempaan Diri sebagai Pemuda. Mereka banyak mendiskusikan realitas kehidupan, sebagian dari yang mereka diskusi dalam Novel adalah adaptasi dari realitas yang sesungguhnya, namun dikemas menjadi dialog novel. Lanjut Baca
Rate This Article
Thanks for reading: Aras Atas | Anak-Anak Negeri : Konsekuensi Pilihan, Sorry, my English is bad:)