Follow Aras Atas on Facebook Contact Us Open!
Please wait 0 seconds...
Scroll Down and click on Go to Link for destination
Congrats! Link is Generated

JADI KARET ATAU BESI ?


Sontoloyo berdendang kecil...wajahnya setengah ceria setengah frustasi. Dari jauh lirih terdengar dendangnya adalah lagu Iwan Fals, lagu Nak-2...mungkin Sontoloyo

berdendang sembari khawatir akan masa depan anaknya...

...Nak...Sekolahlah biasa saja Jangan pintar pintar percuma

Latihlah bibirmu agar pandai berkicau

Sebab mereka sangat perlu kicau yang merdu

Sekolah buatmu hanya perlu untuk titel 

Peduli titel didapat atau titel mukjizat

( ya ya ya ya )

Sekolah buatmu hanya perlu untuk gengsi 

Agar mudah bergaul tentu banyak relasi 

Jadi penjilat yang paling tepat

Karirmu cepat uang tentu dapat Jadilah Durno jangan jadi Bimo

Sebab seorang Durno punya lidah sejuta...

Hidup sudah susah jangan dibikin susah 

Cari saja senang walau banyak hutang 

Munafik sedikit jangan terlalu jujur 

Sebab orang jujur hanya ada di komik 

Pilihlah jalan yang mulus tak banyak batu 

Sebab batu batu bikin jalanmu terhambat

( ya ya ya ya )

Pilihlah jalan yang bagus tak ada paku 

Sebab paku itu sadis apalagi yang berkarat 

Jadilah kancil jangan buaya

Sebab seekor kancil sadar akan bahaya 

Jadilah bandit berkedok jagoan

Agar semua sangka engkau seorang pahlawan 

Jadilah bunglon jangan sapi

Sebab seekor bunglon pandai baca situasi 

Jadilah karet jangan besi

Sebab yang namanya karet paham kondisi 

Anakku aku nyanyikan lagu...

....Moddaarrr.


Syair lagu terakhir Sontoloyo suarakan dengan lantang “Modddaaarrrr!”...penuh emosi seakan ada sesak didada yang ia ingin lampiaskan...anaknya kini sudah beranjak kelas dua SMA dikecamatan tempat tinggalnya, kurang lebih dua kilometer jarak tempuh. Anaknya cukup dengan bersepeda gayung atau terkadang jalan kaki...sampai hari ini anaknya tidak pernah mengeluh, semua berjalan baik-baik saja.

Sontoloyo inget obrolan lugu dengan istrinya semalam, sambil mendengarkan wayang kulit siaran langsung RRI. Setelah ini, anak kita bisa lanjut ndak sekolahnya Pak? “ucap istrinya memulai obrolan. “emang kenapa?” sahut Sontoloyo terkesan tidak ada masalah...”laa anak kita satu tahun lagi tamat SMA, trus bakalan bisa kita biayai lanjut sekolahannya atau tidak...kan kita harus mulai berhitung” ujar istrinya cemas. Sontoloyo membalas sambil senyum, “baik memang kita lebih awal berhitung, tapi kalau telur bebek yang belum keluar juga kita hitung...kan nantinya kemungkinan lebih sering minusnya”...Bu Sontoloyo menaikkan nada suaranya sambil merengut “begini yang saya ndak suka, diajak berhitung demi masa depan anak malah becanda”...Hmmm...ya-ya-ya...nanti saya ajak anak kita bicara tentang arahnya ke-depan, “ujar Sontoloyo menenangkan istrinya”.

Memori lagu Iwan Fals yang spontan muncul tadi cukup menjadi bekal untuk berbincang mesra dengan anaknya nanti malam. Sontoloyo perlahan mencoba-coba rangkaian kalimat yang akan ia obrolkan nanti...syair lagu tadi sungguh menginspirasi “batin Sontoloyo”...

Selesai makan malam bersama, keluarga kecil Sontoloyo segera membereskan perabot dan merapikan tempat pesta kecil mereka tadi. Bu Sontoloyo dibantu anak laki-laki semata wayangnya sibuk mengangkat perabot kotor dan menyimpan sisa makanan yang masih bisa dinikmati esok hari, sementara Sontoloyo mengambil lap dan sapu untuk membereskan remah nasi dan percikan air bekas cucian tangan. “Sungguh kebahagiaan ini tiada tara”, batin Sontoloyo menikmati suasana gotong royong keluarga kecilnya. Tidak ada yang pernah mengeluh dengan jatah tugas ini, meski mungkin sebagian laki-laki karena merasa menyandang jabatan sebagai kepala keluarga enggan atau bahkan risih untuk bertugas menyapu dirumahnya...”Nak kalau tidak ada tugas belajar dari sekolah, sini duduk dulu kita cakap-cakap bohong”, kata Sontoloyo pada anaknya setelah selesai beres-beres. “Siap Boss”, sahut anaknya sumringah...sementara dari belakang rumah istrinya menimpali “ngomong sama anak kok cakap-cakap bohong”, sambil senyum-senyum...rupanya Sontoloyo dalam keluarganya mampu membangun komunikasi yang santai...”tidak menjadi orangtua yang sok bijaksana, tetapi marah melulu”.

“Ada apa Pak”, ujar anaknya setelah duduk didepan Sontoloyo... Tumben Bapak sampai minta saya duduk sama Bapak buat cakap- cakap bohong, padahal tiap saat Bapak biasa membohongi kita, “lanjut si anak sambil tertawa”. Sontoloyo asik membuat rokok klobot sambil berkata, “tu Ibu-mu kepikiran kamu ntar setelah tamat SMA mau lanjut kemana?”...sambil melirik anaknya dengan tatapan yang sedikit serius. Si anak membenahi cara duduknya, karena merasa bahwa cakap-cakap bohong yang Bapaknya maksudkan, kali ini akan serius...”sebelum kamu bercerita tentang keinginanmu, Bapak mau kasi gambar dulu sedikit”, kata Sontoloyo pada anaknya...hanya anggukan kecil isyarat dari anaknya tanda setuju...sebelum Sontoloyo memulai istrinya menyusul duduk disamping anaknya.

Bapak akan mulai dari cerita hidup yang Bapak jalani sampai kini, “buka Sontoloyo”. Kamu mungkin seringkali mendengar usilan orang lain tentang bagaimana Bapakmu ini menjalani hidup sebagai penggembala bebek...sebagian orang mungkin berpendapat bahwa Bapakmu ini tidak punya cita-cita untuk menaikkan derajat hidup kita dari segi ekonomi, sebagiannya lagi bisa jadi lebih parah. Mereka beranggapan bahwa Bapakmu ini manusia putus asa, karena menyandarkan hidup pada jumlah telur bebek saja, atau mungkin mereka cap Bapak sebagai pemalas...ndak apa-apa, Bapakmu ini santai saja...Yang perlu kamu ketahui adalah Bapak dan Ibumu sangat menikmati hidup dengan cara seperti ini, dan sangat bersyukur dengan keberadaanmu bersama kami...Bapak di- didik oleh kekekmu dulu sejak kecil bergaul dengan Bebek, hidup ditepian sawah dan sungai, sibuk mengarahkan dan mencarikan tempat bermain buat bebek-bebek peliharaan Bapak agar mereka nyaman, tidak stres dan memberikan upah dengan baik berupa telur kepada Bapak sebagai bekel buat sekolah dulu...hal tersebut membawa Bapak pada keputusan bahwa, hidup Bapak bergantung pada kehidupan bebek-bebek itu hingga kini. Bapak suka dan menikmati ramainya mereka ketika Bapak bawakan makanan... Bapak suka lucunya mereka ketika bercanda, bahkan ketika mereka tidur dengan mengangkat sebelah kaki...inilah dunia Bapak, yang oleh orang lain dianggap aneh dan tidak punya daya juang, “cerita Sontoloyo sejenak terhenti, karena klobotnya mati”...suasana hening...setelah beberapa isapan baru Sontoloyo melanjutkan ucapannya...

Nah, terkait dengan keinginan sekolahmu atau apalah nanti, Bapak ingin kamu memilih dengan hatimu...pilih apa yang paling kamu sukai, sehingga atas dasar suka itu kamu akan mencari paham sepaham-pahammu atas pilihan itu. Jika atas sukamu itu kamu mendapatkan pekerjaan, maka bekerjalah dengan sepenuh hati karena hal itu kamu pilih atas dasar suka-citamu...Jika sudah demikian yakinlah Tuhan-mu tidak tidur, karena yang Bapak pahami Tuhan itu memberikan kita apa saja sesuai dengan kebutuhan dan tanggungjawab kita...jikalau kita diberi lebih, maka ikutannya adalah tanggungjawab yang lebih pula.

“Contoh misal, dan umpamanya”, tegas Sontoloyo...kelak kamu jadi orang berpendidikan tinggi, maka tugasmu adalah mengamalkan ilmu-mu itu...kelak kamu jadi orang kaya, maka tugasmu adalah membantu orang yang membutuhkan biaya hidup (kaum fakir- miskin, anak yatim, dan sebagainya)...kelak kamu menjadi pejabat, maka atas jabatanmu itu kamu bertugas memelihara orang banyak, dan melayani mereka dengan baik...tetapi jika toh hidupmu harus menjadi biasa-biasa saja (semisal Bapakmu kini), maka hiduplah seperti karet...jangan besi...”Sontoloyo menghela nafas sejenak, sembari melihat ekspresi anak dan istrinya”...Memangnya kenapa kalau jadi besi, “timpal istrinya sambil tersenyum penasaran... Besi itu keras, kaku, dan membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang panjang untuk bisa mendapatkannya, termasuk proses pengolahannya...bahkan untuk menemukannya tidak sedikit lahan yang harus “terluka”...jawab Sontoloyo sambil sedikit bingung, takut jawabannya dibantah anaknya yang sekolah jauh lebih tinggi darinya...”karena semua diam, Sontoloyo melanjutkan”...Besi itu jika ingin dibentuk, maka harus dipanaskan dengan suhu yang sangat tinggi, kemudian ditempa, digosok-digesek barulah jadi... setelah jadi mesti dirawat secara maksimal...jikalau tidak dirawat, maka akan berkarat dan hancur...manusia tidak sekeras dan sekaku itu “imbuh Sontoloyo, sambil tajam menatap anaknya”.

Kalau karet itu, kita dapatkan atas dasar suka sama suka...”kayak pacaran aja”, seloroh istrinya...yaa memang benar, karena jika kita inginkan karet, maka kita harus juga menanam pohonnya. Karena kita menanam pohonnya, maka alam pun memberi restunya...alam kita sehat, lingkungan kita kuat...”tapi kalau berlebih juga bisa jadi limbah Pak”, celoteh anaknya...”apa pun yang berlebih itu pasti tidak baik Nak”, samber Sontoloyo tegas...Karet kalau sudah jadi sangat bisa menyesuaikan diri. Jika dingin dia kaku, jika panas dia mengendor, jika ada yang menariknya dia pun melar...”begitulah hidup sesungguhnya kata Sontoloyo menegaskan”. Melarlah kesamping, hubunganmu dengan sesama jangan kaku; hormati orangtua, sayangi teman seusia dan dibawahmu, tempatkan pemimpin-mu pada posisi selayaknya pemimpin. Jika hidupmu demikian, yakinlah segenap urusanmu akan mudah...Tapi inget, dengan Tuhan kamu harus kaku...tunduk takluklah dalam perintahNya, tidak ada tawar menawar, okeh...”Sontoloyo menutup pembicaraan dengan wajah lega”.

“Sekarang giliranmu, biar Ibumu dengar dan tidak kepikiran”, lanjut Sontoloyo sambil membuat klobot baru...setelah memperbaiki duduknya biar lebih santai, si anak menjawab, “terima kasih banyak Bapak dan Ibu, saya bangga bisa hidup bersama dalam keluarga ini... apa pun kata mereka diluar sana”, si anak menghela nafas sejenak. ”Terkait keinginan untuk melanjutkan sekolah memang ada, namun belum pasti betul. Untuk sementara saya ingin belajar pertanian Pak”, ujar si anak...besok saya akan coba berdiskusi dengan Bapak- Ibu Guru saya di sekolah, biar jelas arah dan prosedur yang harus saya tempuh”, lanjut si anak.

“Baiklah jika demikian” kata Sontoloyo...minimal kami sudah membuka pembicaraan ini, dan kami ingin kamu paham tugas kami hanya mendampingi dan mengantarkan-mu...dan yang lebih penting lagi Ibumu tidak gelisah”, seloroh Sontoloyo ditimpali tawa mesra mereka bertiga.

Cakap-cakap bohong terlihat berlanjut beberapa saat, sampai Sontoloyo meninggalkan anak dan istrinya untuk kontrol bebek- bebeknya dibelakang rumah, takut ada binatang lain yang menggangu...


*


Baca juga :

Rate This Article

Thanks for reading: JADI KARET ATAU BESI ?, Sorry, my English is bad:)

About the Author

Aras Atas

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.
// //